Rolasnews.com – Napak tilas Tarwi bersepeda Surabaya-Jakarta yang baru saja usai akhir pekan lalu, meninggalkan begitu banyak kesan mendalam. Salah satunya adalah kengototan pria berusia 79 tahun itu untuk bertemu dengan orang yang sangat berjasa di awal karirnya dalam dunia balap sepeda. Mas Darman, demikian ia memanggilnya.
Sehari jelang melakoni etape terakhir Sukabumi-Bogor-Depok-Jakarta, beberapa kali Tarwi tampak sedikit gelisah. Rupanya ada hasrat yang ingin diwujudkannya sebelum mencapai finish di etape terakhir di Jakarta.
“Setelah Eki (Hendra Gunawan, red), Abah bilang kepingin sekali ketemu Pak Darman,” ujar Puspita Mustika Adya mengenai penyebab keeglisahan mantan pelatihnya itu.
Puspita menjelaskan, Sudarman atau yang lebih dikenal dengan panggilan singkat Darman, merupakan orang yang pertama kali mengetahui talenta Tarwi, yang kala itu masih sangat belia, di dunia olahraga balap sepeda. .
“Abah berkali-kali menyebut nama Pak Darman begitu sampai di Sukabumi. Abah ngotot mau ketemu beliau saat melintasi Depok nanti,” lanjut Puspita yang setia mengawal perjalanan Tarwi sejak start dari Surabaya.
Hanya saja ada masalah. Sudarman tak bisa dihubungi. Setiap kali ditelepon tak pernah diangkat atau direspon. Hal ini pulalah yang membuat Tarwi bertambah resah. Ia khawatir keinginannya bertemu dengan orang yang sangat dihormatinya itu tak kesampaian.
Untungnya kemudian ada kerabat Sudarman yang berinisiatif membawanya ke satu tempat yang bakal menjadi tempat pertemuan antara kedua pria uzur tersebut.
“Di pelataran parkir Giant Cimanggis,” kata Puspita.
Ingin memberi surprise kepada Tarwi, skenario pun disusun. Tapi tak mudah karena di sisi lain, Sudarman enggan keluar rumah meningat usianya sudah 90 tahun, usia yang rawan terinfeksi virus di masa pandemi. Sementara kalau harus memberitahu Tarwi di awal, dikhawatirkan justru akan mengganggu konsentrasinya menyelesaikan etape pamungkas yang sudah di depan mata.
Sudarman pada akhirnya bersedia begitu disampaikan jika momen itu adalah kesempatannya bertemu dengan mantan anak didiknya. Sedangkan Tarwi sendiri tetap tidak diberitahu demi menjaga unsur surprisenya.
“Nge-prank Abah,” demikian Puspita beralasan.
Akan tetapi skenario itu nyaris berantakan ketika Tarwi melintasi sebuah tempat di daerah Cimanggis. Ia sempat berhenti cukup lama di sebuah gang kecil. Pandangannya fokus ke satu arah.
“Rumah Mas Darman di sana. Ya, saya ingat rumahnya ada di sana,” ujarnya sembari menunjuk-nunjuk ke dalam gang tersebut.
Puspita buru-buru mencegah Tarwi nyelonong masuk ke dalam gang. Ia mengatakan rombongan pengiring sudah menunggunya di parkiran Giant Cimanggis.
“Biar saja mereka menunggu. Ini sudah dekat rumah Mas Darman. Jauh-jauh saya sepedaan salah satu tujuannya ya ke sini. Ke rumah Mas Darman. Saya mau mampir,” tegas pria keras kepala ini.
Menyadari gelagat yang dapat membuyarkan skenario, Ony, putrinya, segera menyusul menghampiri. Kebetulan jarak antara Giant Cimanggis dengan gang yang hendak dituju Tarwi tak begitu jauh. Setengah mati ia merayu bapaknya agar mau singgah dulu ke mal tersebut.
Sang bapak pun melunak. Ia membuntuti Ony menuju ke pelataran parkir Giant. Tak berapa lama, momen mengharukan itu terjadi.
Tarwi yang melihat sosok berambut putih dengan wajah yang amat dikenalnya, langsung mempercepat langkahnya.
Sempat terdiam beberapa detik, dua pria renta ini kemudian saling berpelukan. Sama-sama mewek meluapkan kangen yang membuncah.
“Mas Darman ini pelatih saya. Guru saya. Beliau lah yang pertama kali mengenalkan saya ke dunia balap sepeda yang sebenarnya,” kata Tarwi.
“Mas Darman juga yang meminjami saya sepeda waktu balapan di Surabaya tahun 1962. Berkat sepeda pinjamannya, saya juara waktu itu,” imbuhnya.
Sudarman mengangguk mengiyakan. Ia lantas bercerita ketika awal bertemu Tarwi ia langsung bisa melihat potensi pebalap asal Lamongan tersebut. Sayang, sepeda yang dikendarainya tidak memenuhi standar untuk dipakai di ajang balap sepeda.
“Stang untuk pegangan setirnya terlalu kecil. Terlalu dekat antara tangan kiri dan tangan kanan. Selain bikin gampang pegel, setir sepeda yang terlalu kecil tidak bagus untuk keseimbangan. Beresiko kalau sepedanya melaju kencang,” jelas Sudarman mengingat saat-saat awal mereka bertemu.
Haru Biru Pertemuan Dua Seteru Sekaligus Sahabat di Sukabumi
Karena itu ia kemudian meminjamkan sepeda miliknya untuk dipakai Tarwi balapan. Tak hanya itu, ia juga mengajarinya teknik dan strategi ketika berkompetisi dalam kejuaraan balap sepeda.
Menurutnya, setiap pebalap musti dapat menyeimbangkan fisik, teknik dan strategi. Ini agar ia dapat bertahan lama di olahraga balap sepeda. Juga tak kalah pentingnya, sarana sepeda yang memadai untuk berkompetisi.
“Pak Tarwi ini sudah memiliki modal fisik yang kuat. Tinggal dipoles sedikit saja sama teknik dan strategi ia akan sukses jadi pebalap handal,” tutur Sudarman.
Dalam pertemuan itu, Sudarman juga tak habis-habisnya memuji Tarwi yang masih mampu bersepeda jarak jauh meski usianya sudah mendekati kepala 8.
Ia mengatakan tak pernah seumur hidupnya menemui orang segigih dan memiliki kecintaan begitu besar pada dunia balap sepeda seperti suami Asmani itu.
“Pak Tarwi ini orang langka. Teman-teman seangkatannya sudah banyak yang meninggal atau sakit-sakitan, beliau malah masih segar bugar dan bisa sepedaan Surabaya-Jakarta. Luar biasa,” kata Sudarman.
Namun Tarwi cepat menyergah.
“Wah, kalau ga ada Mas Darman, ya ga bisa saya sampai seperti ini. Jasa beliau banyak sekali,” ujar Tarwi merendah.
“Pokoknya sampai kapan pun Mas Darman ini adalah guru saya,” pungkas mantan pebalap nasional era 60-70 an itu.
Setelah tercapai keinginannya bertemu dengan Sudarman, Tarwi kembali bersemangat menggenjot sepedanya untuk menuntaskan etape terakhir yang finish di Jakarta International Velodrome, Sabtu (26/9) lalu. (TON)
Jangan pernah lupakan sejarah, tanpa Guru kita tidak bisa menjadi seperti sekarang. Hargai apa yang telah mereka berikan