Rolasnews.com – Kecanduan. Ketika Anda membaca atau mendengar kata tersebut, yang paling Anda ingat tentunya hal-hal seperti perjudian, alkohol, dan penyalahgunaan narkoba. Faktanya, tiga hal itu lekat atau setidaknya pernah menjerat pesepakbola terbaik dari masa ke masa.
Sebut saja legenda Manchester United George Best, maestro bola Argentina Diego Maradona, atau bintang timnas Inggris era 1990-an Paul Gascoigne. Mereka mewakili sisi kelam dari kehidupan para pesepakbola.
Namun mereka tak pernah merasakan kecanduan-kecanduan lain yang sebenarnya tidak berbahaya dari kisah kelam mereka, tapi mampu memberikan persoalan yang serius. Bukan hanya bagi para pesepakbola profesional, bahkan di semua kalangan.
Apa itu? Bermain game komputer atau yang kerap disebut sebagai PC Game.
“Ini adalah epidemik di dunia sepakbola,” sebut Steve Pope, seorang psikoterapis olahraga kepada Reuters.
Pope sendiri sudah banyak meneliti tentang efek dari kecanduan game komputer, khususnya di sepakbola.
“Sesuatu yang tidak bisa dihindari karena mereka mencintainya,” lanjutnya.
Pope pun menganggap kecanduan game komputer ini masalahnya sama besar dengan penyalahgunaan narkoba dan alkohol. Tak bisa simsalabim dihilangkan begitu saja.
“Anda seperti mengambil sebotol wiski dari tangan pecandu alkohol,” lanjut Pope.
Ia mencontohkan seseorang yang telah kecanduan game komputer bisa-bisa tidak keluar dari kamarnya dua hingga tiga hari berturut-turut. Bahkan, terkadang sampai (menyediakan botol, red) untuk buang air kecil sehingga mereka tidak perlu keluar kamar dan meninggalkan game-nya.
“Ini sudah jadi masalah nasional. Pesepakbola bahkan lebih rentan karena dekat dengan kehidupan mereka,” klaim Pope.
Pandemi COVID-19 yang mengharuskan #dirumahsaja bisa jadi salah satu faktor pendukung menghebatnya kecanduan tersebut.
Baca Juga :
Benarkah Perubahan Gaya Hidup di Masa Pandemi Hanya Bersifat Sementara?
Apalagi teknologi juga makin memanjakan mereka ketika perusahaan-perusahaan pembuat game seperti Fortnite dan FIFA makin dalam menggeluti bisnisnya. Anda pun bisa bersaing melawan orang-orang di seluruh dunia.
Hebat, bukan? Cukup duduk berhari-hari di depan komputer sudah bisa bersaing dengan orang di seluruh penjuru dunia. Elemen kompetitif ini yang sudah menciptakan masalah di antara pesepakbola. Bebannya bahkan sampai tiga kali lipat selama pandemi.
Bukan hanya orang dewasa. Anak-anak sejak usia 6 tahun juga sudah menggandrunginya. Mereka sudah seperti terprogram otaknya dengan game-game komputer ini.
“Jika itu permainan beregu seperti Fortnite melawan yang lain, maka itu seperti kotak pandora. Pesepakbola seolah dirangsang untuk melakukan kompetisi seperti ini,’’ tuturnya.
Di sinilah letak berbahayanya kecanduan game komputer.
“Anda tidak perlu menunggu pengedar narkoba datang. Anda tinggal membuka konsol Anda dan larut di dalamnya,” tambah Pope.
Baru diakui sebagai masalah serius
Walaupun efeknya dianggap lebih mengerikan dari adiksi-adiksi lainnya, gangguan yang dilaporkan hanya dianggap sebagai “kondisi kesehatan mental” oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2018.
Sementara setahun berikutnya, tepatnya Oktober 2019, Layanan Kesehatan Nasional Inggris (NHS) meluncurkan Pusat Nasional untuk Gangguan Permainan yang pertama. Gunanya adalah untuk merawat pasien berusia antara 13 hingga 25 tahun.
Karenanya, sulit mengumpulkan angka tingkat kecanduan game komputer ini mengingat baru belakangan diakui sebagai masalah serius.
Baca Juga :
Alasan Pesepakbola Rentan Alami Gagal Jantung
Akan tetapi, Pope yakin, dengan banyaknya orang yang menderita gangguan ini ke depan, maka akan banyak perhatian ke masalah tersebut.
Seperti yang diungkapkan Kepala Pendidikan di Sporting Chance, Alex Mills.
Untuk diketahui, Sporting Chance merupakan badan amal yang didirikan mantan kapten timnas Inggris Tony Adams untuk mendukung atlet dengan masalah kesehatan mental dan emosional.
“Kami biasanya membantu orang dengan kecanduan yang lebih umum, seperti perjudian dan kami belum mempunyai sesi khusus untuk kecanduan game komputer. Namun hal itu segera dirilis,” tutur Mills kepada Reuters.
Bukan hanya orang dari kalangan biasa, Mills menyebut bahkan ada olahragawan datang padanya karena masalah tersebut.
“Tapi, saat berbicara dengan mereka, jelas bahwa persoalan yang datang ke kami itu seperti putusnya hubungan yang secara signifikan dipengaruhi perilaku. Seperti menghabiskan banyak waktu dengan game komputer,” kisah Mills.
Lamanya durasi pesepakbola tercebur dalam game komputer yang seringkali sampai larut malam, sudah jadi perhatian klub. Karena, terkadang mereka bisa terlambat atau absen dari sesi latihan di pagi harinya.
Hal itu diakui sendiri oleh Asosiasi Pesepakbola Profesional Inggris (PFA).
Menurut Bagian Eksekutif Kesejahteraan PFA Jeff Whitley, bahkan ada yang sampai 10 jam berturut-turut (bermain game, red).
“Seringkali, setiap hari mereka tidak makan dengan pola yang benar. Begitu pula dengan pola tidurnya yang terganggu,” klaim Whitley.
Eks gelandang Manchester City itu menyebut, lambat laun kebiasaan itu berefek ke performa si pemaim di lapangan.
“Jika mereka (pemain) melakukannya, tubuh mereka takkan membiarkan mereka tampil seperti yang mereka inginkan. Dari situlah yang bisa membuat klub-klub akhirnya tersadar akan pentingnya masalah ini,” tegasnya.
Campur tangan produsen game
Yang bikin lebih rumit lagi, pemain-pemain The Three Lions (julukan timnas Inggris) seperti kapten Harry Kane atau Dele Alli dibayar untuk bermain game. EA Sports, salah satu produsen game, adalah mitra klub kedua pemain itu, Tottenham Hotspur.
Seperti ada sebab dan akibat bukan?
Baca Juga :
Sepekan Paska Final Euro 2020, Hujatan Bernada Rasisme Terus Dialamatkan ke 3 Pemain Inggris
“Masalahnya, akankah klub sepakbola memaafkan pemain yang mengiklankan wiski sekarang? Tidak kan? Jadi, kenapa mereka diperbolehkan untuk mengiklankan game?” keluh Pope.
Pope juga menyebut sudah banyak klub yang menaruh perhatian ke masalah tersebut.
“Sepuluh tahun yang lalu, itu (masalah game komputer pada pemain) dianggap lelucon oleh klub. Tapi, Fleetwood Town (tim kasta ketiga Liga Inggris) pernah saya tangani dengan serius,” ungkap Pope.
Efeknya? Fleetwood merasakan empat kali promosi dalam lima musim. Uniknya, seorang pemain yang mengabaikannya adalah striker Leicester City, Jamie Vardy.
“Jamie berkata, ia bermain sepakbola di lapangan,” kisahnya.
Bukan hanya klub kasta-kasta di bawah Premier League, begitu pula dengan klub-klub di Premier League.
“Dulu mereka (klub-klub Liga Inggris) mengejek kami. Tapi kini, klub mulai dari Premier League sampai ke bawah akhirnya mulai melihat cahaya. Cuma butuh beberapa saat untuk sampai ke sini,” tutup Pope.
Masalahnya, kecanduan game komputer ini, khususnya di kalangan pesepakbola, tidak akan hilang begitu saja. (YMP)