Benarkah Perubahan Gaya Hidup di Masa Pandemi Hanya Bersifat Sementara?

Benarkah Perubahan Gaya Hidup di Masa Pandemi Hanya Bersifat Sementara?
(Distrik Ginza di Tokyo yang biasanya amat padat dengan lalu lalang manusia, tampak lenggang semenjak pandemi COVID-19. Photo Courtesy : Getty Images)
Rolasnews.com – Pandemi diakui banyak berakibat buruk terhadap kehidupan manusia. Ekonomi terjun bebas, mobilitas dibatasi, tempat-tempat usaha dan sekolah-sekolah terpaksa tutup, dlsb, adalah beberapa dari imbas pandemi COVID-19 yang sudah merenggut jutaan korban jiwa. Di sisi lain, pengaruh positif pada perubahan gaya hidup di masa pandemi juga terlihat kasat mata. Misal, kita menjadi lebih peduli terhadap kebersihan, kesadaran untuk lebih menerapkan kebiasaan hidup sehat, serta pola konsumsi yang cenderung lebih terkendali.

Perubahan-perubahan gaya hidup di masa pandemi ini ternyata berdampak pula pada lingkungan. Bahkan kemudian tercipta terminologi baru yang merujuk pada penurunan drastis aktivitas manusia yang disebabkan oleh pandemi, “antropause”.

Antropause merupakan kata campuran “anthropo” (manusia/Yunani) dan “pause” (jeda/Inggris). Secara literal, istilah ini berarti “jeda manusia” atau secara lebih luas bisa juga dimaknai sebagai manusia jeda mengeksploitasi alam. Para ilmuwan berpandangan bahwa jeda ini harus dilakukan agar ekosistem mempunyai waktu untuk memulihkan diri.

Read More

Pandemi Corona Turunkan Emisi Karbon 17 Persen

Pertanyaannya, apakah perubahan-perubahan perilaku yang positif ini bersifat jangka panjang atau hanya temporer? Sementara saja selama pandemi masih berkecamuk dan kembali kepada kebiasaan-kebiasaan lama setelah pandemi berlalu?

Sebagai gambaran bisa dilihat pada apa yang terjadi di negara-negara maju. Di awal-awal pandemi COVID-19, memang ada perubahan substansial dalam pola konsumsi masyarakat. Namun lambat laun perilaku “rakus energi” kembali seperti sediakala.

Salah satu contohnya adalah Jepang. Meski penutupan pabrik-pabrik dan gangguan rantai pasokan makanan masih sangat terasa, mayoritas rumah tangga di Jepang terus memproduksi gas rumah kaca yang sama seperti sebelum adanya pandemi.

“Melihat perubahan gaya hidup yang begitu cepat di awal-awal merebaknya COVID-19, kami ingin meneliti konsekuensinya terhadap lingkungan,” kata Yin Long, asisten profesor di Universitas Tokyo.

Pabrik pencemar lingkungan
(Saat pandemi, alam dapat sedikit “bernafas” karena pabrik-pabrik pencemar lingkungan banyak yang berhenti beroperasi. Photo Courtesy : AP Photo)

Yin Long adalah penulis utama studi tentang perubahan gaya hidup di masa pandemi yang diterbitkan di jurnal ilmiah One Earth.

“Beberapa penelitian lain dari rentang waktu tersebut menunjukkan bahwa emisi gas rumah kaca berkurang dari sisi manufaktur. Tetapi ketika kami melihat dari sisi konsumsi, relatif konstan dari 2015 hingga 2019,” terangnya.

Menurut para ilmuwan, pembelian barang dan jasa oleh konsumen rumah tangga menyumbang setengah dari jejak karbon di seluruh dunia. Emisi gas rumah kaca, baik langsung maupun tidak, diasosiasikan dengan pengembangan produksi, pengangkutan, fasilitas penyimpanan, serta layanan pengantaran. Semuanya itu diukur sebagai jejak karbon.

Warga Jepang makan di luar
(Kebiasaan makan di luar masyarakat Jepang sempat menurun drastis di masa pandemi. Photo Courtesy : Culinary Backstreets)

Dalam laporan ini, para pakar meneliti sekitar 500 produk konsumen yang berbeda dan melacak emisi karbon yang terkait dengan semua barang dan jasa tersebut. Termasuk acara makan-makan di luar, bahan makanan, pakaian, peralatan, film, bahan bakar dan layanan rumah tangga.

“Yang menakjubkan adalah akurasi pengumpulan data jangka panjang dalam statistik pemerintah, juga yang tercatat selama masa pandemi COVID-19. Sehingga membantu kami untuk memperbandingkannya,” kata Profesor Alexandros Gasparatos, peneliti dan pakar ekonomi ekologi.

Gasparos merupakan tenaga ahli PBB yang berafiliasi dengan Universitas Tokyo.

Jejak karbon konsumsi rumah tangga pada periode Januari-Mei 2020 serupa dengan bulan yang sama pada lima tahun sebelumnya. Kasus positif COVID-19 di Jepang yang mulai meningkat di bulan Februari, membuat pemerintah menetapkan darurat COVID-19 untuk pertama kalinya di negara itu pada pertengahan April hingga pertengahan Mei 2020.

Namun berdasarkan temuan tim peneliti, jejak karbon seluruh rumah tangga pada tahun 2020, baik secara umum maupun pada berbagai rentang usia, pada dasarnya sama dalam konteks tahun 2015 hingga 2019.

Secara Fisik dan Ekonomi, Kaum Hawa Paling Terdampak Pandemi

Selama darurat COVID-19, yang berakibat pada pembatasan ketat, bahkan lockdown, membuat jejak karbon dari polusi yang terkait dengan kebiasaan makan di luar berkurang. Akan tetapi perubahan gaya hidup di masa pandemi ini lebih bersifat substitusional dan temporer. Pasalnya, emisi dari toko bahan makanan tetap meningkat akibat lonjakan pembelian bahan-bahan makanan seperti daging, telur dan produk susu.

Industri peternakan sapi
(Demand terhadap produk daging dan turunannya relatif konstan, padahal industri peternakan merupakan salah satu penyumbang emisi karbon terbesar. Photo Courtesy : Getty Images)

Begitu pula dengan jejak karbon dari produk pakaian dan hiburan yang turun dramatis selama diberlakukannya pembatasan ketat mobilitias warga. Tetapi segera pulih kembali manakala pembatasan diperlonggar atau dicabut.

“Ketika COVID-19 merebak, pabrik-pabrik tutup. Tetapi permintaan nyatanya tetap konstan sehingga pabrik-pabrik pun dibuka kembali untuk memenuhi demand tersebut. Padahal sebagaimana termaktub dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB yang disepakati bersama, konsumen dan produsen harus berbagi tanggung jawab untuk mencapai pola hidup sehat,” tegas Long. (TON)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *