Rolasnews.com – Pandemi COVID-19 yang tak kunjung usai telah merubah hampir semua kebiasaan pada kehidupan normal. Termasuk di antaranya adalah perilaku belanja bahan makanan di masa pandemi yang dilakukan masyarakat.
Pasar dan supermarket yang tetap beroperasi sebagai bisnis esensial terus mencetak keuntungan selama pandemi. Namun hal itu tidak berarti bahwa pasokan bahan makanan secara konsisten dapat mencukupi kebutuhan banyak orang.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa selama pandemi rata-rata orang lebih jarang berbelanja di toko atau supermarket dan lebih banyak menghabiskan uang sekali perjalanan belanja guna menimbun bahan makanan sebagai persediaan.
Mborong belanjaan inilah yang terkadang memicu kelangkaan beberapa jenis bahan makanan di pasar atau supermarket.
Ran Xu, seorang professor Ilmu kesehatan di Sekolah Tinggi Pertanian, Kesehatan, dan Sumber Daya Alam, tertarik untuk melihat apakah tren tersebut juga berlaku untuk masyarakat yang rawan pangan alias kurang mampu.
Seperti yang telah diketahui wabah corona menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaan sehingga memperburuk kerawanan pangan.
“Karena COVID-19 menghantam perekonomian, lebih banyak orang tiba-tiba menjadi rawan pangan, dan kami membutuhkan lebih banyak penelitian tentang itu,” terangnya.
Penelitian yang telah diterbitkan di Public Health tersebut melibatkan 2.500 responden dan dilakukan pada bulan Mei 2020 saat AS berada pada puncak pandemi.
Penelitian tersebut mengevaluasi bagaimana persepsi penghindaran resiko, kelangkaan sumber daya, dan status ketahanan pangan konsumen mempengaruhi perilaku pengadaan pangan selama momen darurat ini.
Dalam temuan tersebut juga terungkap bahwa baik orang yang tahan pangan dan orang yang rawan pangan sama-sama lebih sedikit melakukan perjalanan belanja bahan makanan karena khawatir tertular COVID-19.
Namun tidak seperti orang yang memiliki ketahanan pangan, mereka yang rawan pangan tidak dapat meningkatkan jumlah pengeluaran uang belanja.
Baca Juga :
Bank Dunia : Pandemi Covid-19 Ciptakan Jutaan Orang Miskin Baru di Asia
Berfokus pada masyarakat rawan pangan yang memilki kesulitan keuangan, sejumlah pertanyaan diajukan kepada responden. Di antaranya adalah apakah mereka khawatir persediaan makanan mereka akan habis sebelum mereka punya uang untuk membeli lebih banyak, atau bagaimana jika makanan yang mereka beli tidak bertahan lama sementara mereka tidak punya uang untuk membeli dalam jumlah besar.
Kemudian para peneliti mengevaluasi perilaku belanja bahan makanan di masa pandemi yang dilakukan partisipan. Seperti jenis toko yang mereka kunjungi, frekuensi perjalanan, dan pengeluaran rata-rata. Mereka membandingkan langkah-langkah ini dengan pengalaman berbelanja mereka sebelum pandemi.
Hasilnya menujukkan bahwa individu yang tahan pangan cenderung menghabiskan lebih banyak uang per perjalanan belanja untuk menimbun makanan guna mengurangi potensi paparan virus corona serta bersiap menghadapi kekurangan pangan.
Tetapi individu yang rawan pangan tidak dapat mempersiapkan dengan cara yang sama karena mereka memiliki anggaran dan sumber daya yang jauh lebih terbatas. Artinya, orang yang rawan pangan tidak serta merta meningkatkan pengeluaran uang belanja mereka sekalipun mereka jarang pergi ke toko atau supermarket untuk berbelanja bahan makanan selama pandemi.
Kesimpulannya, pandemi memperburuk kesenjangan antara orang yang kecukupan pangan dan rawan pangan.
Hal ini sangat mengkhawatirkan karena kerawanan pangan juga berdampak serius bagi kesehatan. Kurangnya akses ke makanan bergizi dapat mengakibatkan sejumlah penyakit berbahaya seperti diabetes dan penyakit kardiovaskuler, serta berpotensi menurunkan imun tubuh yang dapat meningkatkan resiko penularan virus corona. (AZP)