Protes Junta, Perenang Myanmar Tolak Berlaga di Olimpiade Tokyo

Protes Junta, Perenang Myanmar Tolak Berlaga di Olimpiade Tokyo
(Seorang perenang asal Myanmar menolak bertanding di Olimpiade karena memprotes junta militer di negaranya. Credit: CNN)
Rolasnews.com – Perlawanan rakyat Myanmar kepada Junta Militer telah berlangsung lebih dari setengah tahun. Mulai dari awal Februari, sampai sekarang pun perlawanan itu masih terus berlanjut.

Beragam cara perlawanan sudah dilakukan rakyat Myanmar dalam melawan tangan besi Junta Militer. Meskipun sudah tidak banyak turun ke jalan lagi seperti ketika awal-awal meletus dulu.

Sebagai seorang olahragawan, Win Htet Oo pun punya cara sendiri untuk menunjukkan bentuk perlawanannya. Bahkan, ia berharap upayanya tersebut didengarkan langsung dunia internasional.

Read More

“Ketika kudeta terjadi, saya tak berpikir untuk mewakili Myanmar di bawah bendera itu, di bawah rezim militer,” ungkap Win dalam panggilan videonya dengan TIME.

Kebetulan, pada saat ini perenang 27 tahun itu tidak sedang di Myanmar.

Sudah hampir setahun ini Win berlatih dan tinggal di Melbourne, Australia. Ia sudah berada di Melbourne setahun setelah dinyatakan lolos ke Olimpiade 2020. Catatan waktunya di nomor 50 meter gaya bebas putra dalam SEA Games 2019 Malaysia dinyatakan lolos limit Olimpiade.

Catatan waktunya ketika itu mencapai 22,62 detik. Terpaut 0,37 detik dari peraih medali emas 50 Meter Gaya Bebas Putra Jonathan Tan dari Singapura.

Win pada 10 April lalu melalui halaman Facebook bahkan sempat menulis surat terbuka untuk Komite Olimpiade Internasional (IOC). Isinya, ia meminta IOC supaya melarang Myanmar di bawah rezim militer untuk turun di Tokyo nanti. Dalam hal ini Komite Olimpiade Myanmar.

Sayangnya, permintaan Win ditolak IOC.

Win lantas mengkritisi IOC yang dianggapnya hanya bisa bersembunyi di balik netralitasnya.

“Menerimanya (Komite Olimpiade Myanmar) seperti yang saat ini dipimpin rezim militer, maka IOC berarti sudah mengakui legitimasi rezim pembunuh,” sebutnya.

Perenang Myanmar yang dilahirkan di Malaysia itu tak peduli dengan kebanggaan yang sempat ia rasakan. Membawa Myanmar ke Olimpiade. Ia sampai menyebut Olimpiade di Tokyo sebagai target dan akan jadi puncak karirnya selama dua dekade.

“Itu untuk menunjukkan kepada Myanmar bahwa kami bisa sampai ke Olimpiade tahun ini jika kami mempunyai pelatihan yang tepat, pelatih yang tepat, dan fasilitas yang tepat juga,’’ ucap Win.

Itu yang menurutnya kurang diperhatikan juga oleh rezim militer.

Win Htet Oo
(Win Htet Oo. Credit: CNN)

Sebenarnya, perenang pemegang rekor di 50 meter, 100 meter, dan 200 meter gaya bebas putra Myanmar itu sempat berupaya agar bisa tampil di Olimpiade dengan bendera netral. Sama seperti atlet-atlet Rusia. Tapi, permintaannya itu tetap ditolak IOC.

Baca Juga :

Kepolisian Jepang Waspadai Potensi Unjuk Rasa Menolak Olimpiade Berujung Kekerasan

IOC dalam pernyatannya kepada Australia SBS News menyebut rujukan keputusannya menolak keinginan Win tersebut. IOC merujuk kepada Piagam Olimpiade yang mengungkapkan: ’’Organisasi Olahraga harus menerapkan netralitas politik,’’ tulis Piagam tersebut.

Rujukan itu juga dikuatkan dengan adanya pengakuan dari Komite Olimpiade Myanmar.

“Tidak ada dampak apapun antara persiapan Myanmar untuk Olimpiade dengan rezim militer,” kilah IOC dalam pernyataannya.

Menurut Win, IOC harusnya tak memakai prinsip netralitas tersebut saat mereka sudah mengambil keputusan.

“Setiap jenis noda represi atau kejahatan terhadap kemanusiaan faktanya tak termasuk dalam nilai-nilai Olimpiade”’ seru Win.

Dengan tidak turunnya Win ini, maka Myanmar hanya diwakili tiga atlet dari tiga cabang olahraga (cabor berbeda).

Masing-masing satu atlet menembak putra (Ye Tun Naung) dan kedua atlet lainnya satu dari cabor bulutangkis (Htet Htar Thuzar) dan satu atlet lainnnya dari judo (Chu Myat Noe Wai). (YMP)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *