Rolasnews.com – Diberlakukannya kebijakan New Normal oleh Pemerintah Indonesia, membuat industri pariwisata di tanah air mulai kembali menggeliat. Hal ini tentunya juga menjadi angin segar bagi masyarakat yang selama ini merasa jenuh dan stress akibat kebijakan physical distancing atau PSBB, sehingga masyarakat sudah tidak sabar untuk segera berwisata.
Namun demikian, dengan beroperasinya kembali industri pariwisata justru berpotensi memunculkan permasalahan baru terkait penyebaran COVID-19 yang bisa menjadi kekhawatiran baik dari masyarakat maupun para pelaku industri pariwisata.
Pakar komunikasi dan managemen krisis Universitas Brawijaya (UB), Maulina Pia Wulandari, Ph.D, menilai, dibukanya kembali industri pariwisata bisa menjadi pemicu terjadinya gelombang kedua (second wave) pandemik COVID-19 jika tidak dipersiapkan dengan matang dan cermat.
Oleh karenanya, pelaku industri pariwisata harus benar-benar menganalisis segala resiko dan kemungkinan yang timbul dengan dibukanya industri yang banyak mengundang berkumpulnya banyak orang ini.
“Harus benar-benar bisa memahami pandangan wisatawan pada kondisi pariwisata di tengah pandemi yang masih berlangsung. Termasuk mengindentifikasi beberapa tipe wisatawan,” sebutnya.
Ada tipe wisatawan “paranoid” yang memiliki rasa takut yang berlebihan akan tertular virus COVID-19.
Selanjutnya tipe wisatawan “stay alert” yang selalu waspada pada bahaya virus COVID-19.
Ada juga tipe wisatawan “travel wise” yang tetap menikmati perjalanan wisatanya namun tetap patuh pada protokol kesehatan.
Terakhir adalah tipe wisatawan “nekat” yang hanya senang menikmati perjalanan wisatanya tapi cuek dan tidak patuh pada protokol kesehatan.
“Tipe wisatawan nekat ini yang perlu diwaspadai dan saya prediksi jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan wisatawan yang bijak dalam berwisata dan patuh dengan protokol kesehatan,” ungkapnya.
Mereka inilah, imbuhnya, yang bisa mempercepat penularan virus COVID-19 di tempat-tempat pariwisata akibat rendahnya rasa kesadaran terhadap bahaya virus dan disiplin diri dalam mematuhi protocol kesehatan.
Oleh karenanya, Pia merekomendasikan agar pelaku industri pariwisata jangan hanya sibuk promosi. Misalnya memberikan diskon besar-besaran tapi justru melupakan esensi apa yang sebenarnya diinginkan oleh wisatawan.
Selain melakukan persiapan internal dalam hal pemenuhan 3K (Kebersihan, Kesehatan dan Keselamatan), para pelaku pariwisata juga harus membuat strategi komunikasi pemasaran. Strategi tersebut bisa berupa mengkampanyekan kesiapan industri pariwisata untuk memberikan keyakinan kepada wisatawan bahwa destinasi wisata sudah siap menerima kunjungan dengan memperhatikan 3K.
“Startegi komunikasi pemasaran ini harus dijalankan minimal tiga minggu berturut-turut sebelum industri pariwisata beroperasional. Pelaku pariwisata harus mensosialisasikan hal-hal yang harus diketahui dan dipatuhi oleh para wisatawan. Juga konsekuensi-konsekuensi yang dihadapi jika melanggar protokol kesehatan yang telah diterapkan oleh para pelaku pariwisata,” saran Pia.
Mesir Buka Kembali Destinasi Wisata yang Jauh dari Sebaran Pandemi
Pelaku industri pariwisata juga harus menyediakan berbagai macam bentuk medium komunikasi dengan wisatawan seperti pamflet, buku saku, short video, hingga reminder text messages, tentang protokol kesehatan yang harus dipatuhi oleh wisatawan dan harus disampaikan kepada wisatawan sebelum berkunjung, saat berkunjung, dan saat kembali pulang.
Harus pula disediakan layanan komunikasi interaktif 24 jam melalui berbagai saluran komunikasi yang memudahkan wisatawan menghubungi para pengelola pariwisata saat mereka menghadapi masalah misalnya tiba-tiba sakit.
“Jika strategi ini tidak dilaksanakan dengan baik, bisa dipastikan gelombang kedua pandemik COVID-19 bisa terjadi selama 2-4 minggu di awal dibukanya industri pariwisata. Jangan sampai industri pariwisata dituduh sebagai pemicu terjadinya “second wave” yang mengakibatkan kerugian lebih besar lagi pada industri pariwisata kita, yaitu penutupan total industri pariwisata Indonesia, ” pungkasnya. (ANC)