Rolasnews.com – Negara-negara penghasil minyak, termasuk yang tergabung dalam OPEC, saat ini sedang berupaya keras mencapai kesepakatan untuk mengurangi produksi minyak mentah. Akibat merebaknya pandemi COVID-19, harga minyak jatuh. Meski menguntungkan konsumen, namun harga minyak yang turun terlalu drastis dapat mengacaukan perekonomian global dan mendorong perusahaan-perusahaan energi menuju kebangkrutan.
Dilaporkan hari Kamis malam (9/4), OPEC dan Rusia telah mencapai kesepakatan sementara untuk memangkas produksi sebesar 10 juta barel selama dua bulan.
Dalam video conference OPEC, kesepakatan tersebut merupakan bagian dari serangkaian pembicaraan untuk menstabilkan harga minyak yang jatuh lebih dari separuh sejak awal tahun ini. Jatuhnya harga minyak sebelumnya juga diakibatkan perang harga antara Arab Saudi dan Rusia.
Merosotnya harga ini diperparah pandemi COVID-19 di seluruh dunia yang membuat banyak industri dan bisnis mandek beroperasi. Permintaan akan minyak pun turun secara signifikan sebagai imbasnya.
Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, mengatakan pada hari yang sama bahwa Rusia menyokong langkah global yang tidak hanya mencakup OPEC dan Rusia, tetapi juga Amerika Serikat.
AS adalah salah satu produsen utama dunia dan penurunan harga minyak mentah menyebabkan kerugian keuangan yang sangat besar bagi perusahaan-perusahaan pengilangan minyak. Beberapa produsen minyak di negara Paman Sam telah menyerukan pembatasan produksi dalam negeri.
Harapan tinggi digantungkan pada pertemuan OPEC. Presiden AS, Donald Trump, bahkan sempat menginginkan pemangkasan produksi hingga 15 juta barel/hari, atau sekitar 15% dari total produksi global. Namun para pakar mengatakan bahwa itu adalah hal yang tidak mungkin.
Sementara Presiden Rusia, Vladimir Putin, mendukung pengurangan produksi secara keseluruhan tak lebih dari 10 juta barel/hari.
Baca Juga : Tambah Cadangan Devisa, Pemerintah Terbitkan Global Bond Senilai USD 4,3 Miliar
Untuk diketahui, pasar minyak dunia mengalami oversupply ketika OPEC dan Rusia gagal mencapai kesepakatan untuk mengurangi produksi di awal Maret lalu. Rusia menolak usulan pengurangan karena hal itu akan membuat perusahaan pengilangan minyak AS menggenjot produksi dalam kapasitas penuh.
Namun sikap Rusia ini memantik kemarahan Arab Saudi. Alih-alih memangkas produksi, sekutu AS di Timur Tengah itu malah mengancam akan meningkatkan produksi sekaligus memotong harga jualnya. Ribut-ribut antara dua negara besar ini tak ayal memantik perang harga minyak.
Rusia yang mengandalkan minyak sebagai sumber pendapatan utama, sangat terpukul. Jatuhnya harga minyak menyebabkan mata uangnya, Rubel, terpuruk. Ujung-ujungnya hal ini membuat biaya impor meningkat serta mengerek inflasi di negara Beruang Merah tersebut.