Rolasnews.com – Kunci keberhasilan Indonesia dalam menurunkan angka penyebaran COVID-19 adalah angka vaksinasi yang tergolong tinggi. Walaupun jika dihitung berdasarkan persentase populasi, Indonesia sebenarnya masih berada di bawah rata-rata global, yakni di angka 43.30%. Namun secara angka absolut, Indonesia telah berhasil memvaksinasi sedikitnya 119 juta warga hingga 31 Oktober 2021.
Karena itu dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Brawijaya, Pantri Muthriana Erza Killian Ph.D, menilai bahwa unit-unit diplomasi Indonesia berhasil memastikan ketersediaan stok vaksin dalam negeri sekaligus mendorong kerjasama untuk membangun kemandirian industri vaksin.
“Harus diakui bahwa untuk pemenuhan ketahanan kesehatan domestik, mesin-mesin diplomasi Indonesia telah menunjukkan performa yang baik selama satu tahun terakhir dan untuk itu, kita layak berterima kasih,” ujarnya dalam Refleksi Akhir Tahun FISIP UB yang dilakukan secara daring, Selasa (9/11).
Hanya saja menurut Erza kiprah Indonesia di dalam luar negeri tak sebaik di dalam negeri. Indonesia yang cukup aktif dalam skema COVAX Advanced Market Commitment tak mampu mengatasi masalah global tentang masalah ketimpangan vaksin.
“Posisi Indonesia di COVAX lebih banyak digunakan untuk mengamankan stok vaksin dalam negeri dibanding mendorong pemerataan vaksin global,” sebutnya.
Erza menyatakan posisi Indonesia memang dilematis. Termasuk yang juga dialami negara negara lain.
“Karena pada dasarnya, ketika dihadapkan pada situasi krisis, negara akan cenderung memilih untuk menyelamatkan dirinya terlebih dahulu,” tuturnya.
Lebih lanjut Erza menyampaikan, pandemi global yang telah berlangsung selama hampir dua tahun ini telah mentransformasi tatanan hidup dan mereformasi tata kelola dalam berbagai bidang. Bukan hanya secara domestik tapi juga secara global.
Kerjasama global pun dilakukan. Bukan hanya dari aktor negara, tapi juga non-negara. Keterlibatan perusahaan, universitas, lembaga riset, organisasi nirlaba hingga lembaga masyarakat sipil menunjukkan adanya dimensi solidaritas sosial yang muncul ketika dunia dihadapkan pada krisis kolektif seperti sekarang. Namun tetap ada 3 paradoks yang terjadi pada proses kerjasama global ini.
“Setidaknya ada tiga paradoks yang muncul dalam praktik kerjasama global di masa pandemi,” sebutnya.
Menurut Erza, pertama internasionalisme adalah semangat kerjasama yang ingin diusung secara global, namun nasionalisme justru semakin menguat.
Kemudian kedua pemerataan diharapkan menjadi tujuan utama dari skema global yang digagas, namun ironisnya ketimpangan justru semakin tinggi. Dan ketiga retorika terkait kerjasama banyak digaungkan secara masif namun kompetisi global justru semakin tajam.
“Tiga paradoks ini menjadi poin penting dalam melihat kesesuaian antara retorika dengan realita global yang ada,” papar lulusan University of Leeds ini.
Baca Juga :
Perburuan Vaksin COVID-19 Didominasi Negara Kaya
Beberapa kejadian paradoks yang terjadi seperti Inggris yang sudah mengamankan stok lima dosis per orang padahal ada negara lain yang masih kekurangan stok vaksin.
“Selain membahayakan kelompok rentan di banyak negara, nasionalisme vaksin seperti ini juga berpotensi untuk memperlambat pemulihan ekonomi di masa pandemi,” sambung Erza.
Bentuk paradoks yang lain seperti 71,5% populasi di negara berpendapatan tinggi telah mendapatkan minimal satu dosis vaksin berbanding dengan hanya 3,6% di negara berpendapatan rendah.
Paradoks ketiga kata Erza adalah bagaimana kerjasama global terus didorong, namun di sisi lain, kompetisi justru semakin tajam.
“Kompetisi untuk mendapatkan vaksin adalah satu bentuk yang paling dominan di tahun 2021, selain juga kompetisi atas sumberdaya ekonomi yang menjadi semakin terbatas,” pungkasnya. (ANC)