Perburuan Vaksin COVID-19 Didominasi Negara Kaya

Perburuan Vaksin COVID-19 Didominasi Negara Kaya
(Vaksin Corona pengembangannya didominasi negara-negara kaya. Foto : Contract Pharma)
Rolasnews.com – Cepatnya penyebaran global pandemi Corona yang menginfeksi jutaan orang serta merenggut ratusan ribu jiwa, membuat negara-negara kaya rela menggelontorkan dana hingga milyaran dolar untuk mendapatkan vaksinnya. Sayangnya, perburuan vaksin COVID-19 yang didominasi negara-negara yang kuat secara ekonomi itu dituduh justru hanya menunjukkan keegoisan mereka.

Tuduhan itu tidaklah mengada-ada. Begitu memperoleh vaksin COVID-19 yang terbukti secara klinis mampu memperkuat antibodi melawan Virus Corona, negara-negara kaya akan memprioritaskan vaksin yang jumlahnya terbatas dan harganya mahal itu untuk warganya terlebih dahulu.

Pertanyaannya, lalu bagaimana dengan negara-negara berkembang dan miskin yang juga membutuhkan penawar untuk COVID-19? Jawaban sederhana tapi menohok barangkali adalah, “Yo embuh.”

Read More

Hal inilah yang dikhawatirkan PBB, Palang Merah Internasional, Bulan Sabit Merah dan beberapa organisasi kemanusiaan lainnya. Awal Juni lalu, mereka sudah mewanti-wanti adalah hak setiap orang untuk mendapatkan vaksin COVID-19, tanpa kecuali.

Pernyataan yang diembel-embeli “kewajiban moral” itu bisa jadi merupakan sindiran kepada negara-negara maju yang jauh-jauh hari sudah mengatakan akan memprioritaskan pemberian vaksin kepada warganya sendiri.

“Kami memiliki angan-angan yang indah setiap orang bisa mendapatkan vaksin. Tapi tidak (belum) ada gambaran pasti bagaimana caranya,” kata Yuan Qiong Hu, penasehat hukum senior di Médecins Sans Frontières, sebuah organisasi medis internasional independen yang bermarkas di Jenewa, Swiss.

Meski demikian, berbagai upaya telah dilakukan untuk pendistribusian vaksin yang lebih adil, ia menambahkan.

Sebelumnya, kata Hu, perusahaan mengajukan paten pada hampir setiap pengembangan dan produksi vaksin. Mulai dari bahan biologis seperti sel yang digunakan hingga pengawet yang diperlukan untuk merentangkan dosis vaksin. Bahkan cara pengambilannya pun dipatenkan.

“Kita tak mungkin menghadapi perlindungan hak cipta yang terlalu ribet ini untuk membuat vaksin yang bisa diakses setiap orang,” jelas Hu kepada Associated Press.

Apa yang diungkapkan Hu ini diamini Presiden Ghana, Nana Akufo-Addo.

Akufo-Addo menyampaikan unek-uneknya saat pertemuan tingkat tinggi awal bulan ini yang membahas peliknya masalah distribusi vaksin yang merata.

“Hanya vaksin yang bisa diakses setiap orang secara setara yang dapat melindungi seluruh umat manusia dari virus ini,” ujarnya.

Pada pertemuan puncak dengan para pemimpin Afrika hari Rabu lalu, Presiden China, Xi Jinping, menjanjikan negara-negara di benua hitam itu “yang pertama kali mendapat manfaat” begitu vaksin COVID-19 sukses dikembangkan dan digunakan di China.

Presiden Joko Widodo
(Presiden Joko Widodo menginginkan para peneliti kita juga mampu membuat penawar Virus Corona sendiri. Saat ini Indonesia tengah berkerja sama dengan China untuk mengembangkan vaksin COVID-19. Foto : ANTARA Foto)

Sebagai informasi, sekitar selusin vaksin COVID-19 yang potensial sedang dalam tahap awal pengujian di seluruh dunia. Beberapa di antaranya sudah akan masuk pengujian tahap akhir di penghujung tahun ini. Dengan demikian, awal tahun depan diyakini tetap belum akan ada vaksin yang sudah berlinsensi.

Akan tetapi sejumlah negara maju telah memesan vaksin yang masih dalam tahap pengujian ini dan berharap sudah mendapatkannya bahkan sebelum terbit ijin untuk memasarkannya.

Inggris dan Amerika Serikat adalah yang termasuk meng-inden vaksin-vaksin Corona tersebut. Kedua negara telah mengucurkan jutaan dolar untuk penelitian vaksin, seperti yang dikembangkan oleh Universitas Oxford dan diproduksi AstraZeneca. Sebagai imbalannya, kedua negara tersebut akan diprioritaskan menjadi yang pertama mendapatkan vaksin.

Pemerintah Inggris menyatakan jika vaksin terbukti efektif, akan memesan 30 juta dosis untuk warganya.

Uji Coba Vaksin COVID-19 pada Manusia
(Uji coba vaksin COVID-19 pada manusia yang dilakukan di Universitas Oxford, Inggris. Foto : Oxford University)

Sementara pekan lalu, Uni Eropa tak ketinggalan berinisiatif untuk memastikan pasokannya sendiri. AstraZeneca sepakat untuk menyediakan 400 juta dosis vaksin COVID-19 pada akhir tahun untuk Jerman, Perancis, Italia dan Belanda.

Secara terpisah, AstraZaneca juga telah menandatangani perjanjian untuk menyediakan sedikitnya 300 juta dosis untuk AS yang pengiriman pertamanya akan dilakukan awal Oktober mendatang.

Dalam briefing beberapa hari sebelumnya, pejabat senior AS mengatakan akan ada sistem yang sangat selektif untuk menentukan siapa saja warga AS yang diberi vaksin pertama kali. Di antaranya yang paling memungkinkan adalah kelompok yang paling beresiko mengidap penyakit parah dan para petugas yang bekerja di layanan-layanan vital.

Fenomena negara-negara kaya berburu vaksin ini menuai kritikan GAVI, sebuah aliansi global penyedia vaksin. GAVI mengingatkan bahaya yang mengintai apabila ketersediaan vaksin mengabaikan negara-negara berkembang.

“Sekali pun negara-negara maju memiliki vaksin, namun jika terjadi lagi pandemi di tempat lain, itu tetap akan mengancam dunia,” kata Seth Berkley, CEO GAVI.

GAVI dan para mitranya telah menandatangani kesepakatan senilai USD 750 juta dolar dengan AstraZeneca untuk memasok 400 juta dosis vaksin COVID-19 pada akhir 2020. Raksasa farmasi Swedia-Inggris itu juga telah setuju melinsensikan vaksinnya ke Institut Serum India untuk produksi 1 miliar dosis.

Sedangkan Johnson & Johnson, perusahaan multinasional yang memproduksi perlengkapan kesehatan, farmasi dan barang-barang konsumen, berencana membuat anti Virus Corona untuk negara-negara miskin dengan harga produksi alias nirlaba. Kepala sains perusahaan, Dr. Paul Stoffels, mengatakan vaksin tidak bisa sepenuhnya gratis karena kompleksitas teknologi dan keahlian yang dibutuhkan.

Pun demikian dengan AstraZeneca yang berjanji untuk membuat vaksin non-profit selama pandemi.

Penelitian Vaksid COVID-19 di Beerse, Belgia
(Seorang peneliti di Laboratorium Janssen di Beerse, Belgia, yang merupakan anak perusahaan Johnson & Johnson. Pengembangan vaksin COVID-19 yang gencar dilakukan negara-negara maju dikhawatirkan hanya diprioritaskan bagi warga negara mereka. Hal yang tentunya tidak adil bagi negara-negara berkembang dan miskin yang sumber dayanya terbatas. Foto : AP Photo)

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan NGO lainnya telah menyerukan “pengumpulan paten” COVID-19. Tujuannya adalah mengumpulkan hak atas kekayaan intelektual sehingga perusahan-perusahaan farmasi dapat lebih bebas berbagi data dan pengetahuan teknis.

Beberapa negara seperti Australia, Brazil, Kanada dan Jerman sudah merevisi undang-undang perijinan mereka yang memungkinkan penangguhan hak kekayaan intelektual apabila pemerintah memutuskan ada kebutuhan yang mendesak terkait pandemi.

Kolaborasi Unair, BIN dan Gugus Tugas, Temukan 5 Kombinasi Obat untuk Penyembuhan COVID-19

Belum ada tanggapan serius dari industri mengenai revisi undang-undang hak paten tersebut.

Namun eksekutif di Pfizer dan beberapa perusahaan besar farmasi lainnya menentang penangguhan hak paten untuk vaksin COVID-19 yang potensial.

Keadaan inilah yang memicu kecemasan para pemangku kesehatan.

“Kita tidak bisa hanya mengandalkan niat baik untuk memastikan akses (ketersediaan vaksin bagi setiap negara, red),” kata Arzoo Ahmed, dari Nuffield Council on Bioethics, Inggris.

Ia mengingatkan pengalaman bagaimana tidak adilnya distribusi obat-obatan yang sebenarnya amat dibutuhkan.

“Butuh 10 tahun obat-obatan penawar HIV/AIDS dapat menjangkau negara-negara berpenghasilan rendah,” ujarnya.

Hal senada disampaikan Direktur UNAIDS, Winnie Byanyima, hari Kamis (18/6), kepada media. Menurutnya, negara-negara di Afrika sudah terlihat dianaktirikan untuk urusan suplai medis dalam menghadapi pandemi saat ini.

“Kami tak bisa selalu berada di antrian paling buncit,” tegas Byanyima yang berkewarganegaraan Uganda itu.

Anak di Afrika Rentan Virus Corona
(Tanpa adanya vaksin yang bisa diakses setiap orang, anak-anak, terutama di negara-negara miskin yang terbatas sumber dayanya, adalah kaum yang paling rentan terinfeksi COVID-19. Foto : UNICEF)

Banyak pakar yang lain menunjukkan ada dana miliaran dolar dari para pembayar pajak yang dialokasikan khusus untuk setiap tahap pengembangan vaksin. Tetapi nyaris tak diributkan bagaimana dana tersebut dihabiskan serta jaminan bahwa inokulasi akan diberikan kepada mereka yang paling membutuhkannya.

“Kami tidak tahu seperti apa prosesnya nanti atau seberapa transparannya (dana untuk pengembangan vaksin, red),” kata Suerie Moon, co-direktur Global Health Center di Graduate Institute Jenewa.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) saat ini tengah mengembangkan “batasan alokasi” tentang bagaimana vaksin COVID-19 dibagikan. Hal ini dikatakan Dr. Soumya Swaminathan, Kepala Badan Kesehatan PBB. Namun ia menambahkan, panduan tersebut sifatnya tidak mengikat.

Swaminathan berharap ada sekitar 2 miliar dosis yang tersedia bagi para pekerja medis di seluruh dunia yang rentan terinfeksi pada akhir tahun depan dan WHO menawarkan pendistribusiannya.

“Seluruh negara musti sepakat untuk mencapai konsensus. Hanya ini satu-satunya cara untuk berhasil,” tandasnya. (TON/Berbagai sumber)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *