Berlomba Siasati Olimpiade Terpanas Sepanjang Sejarah

Berlomba Siasati Olimpiade Terpanas Sepanjang Sejarah
(Selain pandemi, para atlet juga menghadapi ancaman temperatur tinggi di Olimpiade Tokyo. Credit: AP Photo)
Rolasnews.com – Selain kendala pandemi yang membuat persiapan tak maksimal, para atlet yang akan berlaga di Olimpiade Tokyo juga harus pintar-pintar berlomba menyiasai suhu di tempat tuan rumah yang sangat tinggi. Olimpiade kali ini diperkirakan bakal menjadi olimpiade terpanas sepanjang sejarah.

Suhu udara Tokyo selama musim panas tahun lalu melonjak jadi 41,1 derajat Celcius. Suhu itu sudah menyamai rekor suhu tertinggi di negara tersebut dua tahun sebelumnya.

Tahun ini, ada potensi mengarah ke sana. Suhu maksimum harian selama musim panas di ibukota Jepang tersebut rata-rata sekitar 30 derajat Celcius dengan kelembaban 80 persen. Tetapi ada yang memperkirakan dalam beberapa hari ke depan bisa menjadi 35 derajat Celcius atau lebih.

Read More

Tokyo pun diperkirakan menjadi salah satu Olimpiade Musim Panas yang terpanas sepanjang sejarah. Terlebih setelah gelombang panas baru-baru ini yang membuat penyelenggara bersiap-siap kondisi terburuk.

Kondisi akan lebih sulit dengan adanya pandemi COVID-19. Dengan adanya pandemi ini, maka semakin minim waktu tinggal setiap atlet di Tokyo. Sehingga, semakin pendek pula masa adaptasinya dengan suhu udara di sana.

Terutama bagi atlet-atlet dari negara yang bukan beriklim tropis. Salah satunya atlet jalan cepat Kanada, Evan Dunfee. Ia bersama pelatihnya Gerry Dragomir dan ahli fisiologi olahraga Trent Stellingwerf sudah mempersiapkannya.

Dunfee memakai pengalamannya saat mengikuti Kejuaraan Dunia Lari Cepat di Doha, 2019. Ketika itu, suhu Doha 31 derajat Celcius dengan kelembaban 75 persen.

“Saat itu, saya terpikir untuk menuangkan lebih dari 100 liter air ke kepala saya,” ungkapnya.

Saat itu, atlet-atlet yang lain tidak melakukan cara seperti Dunfee.

“Banyak dari mereka yang kemudian berlari dengan kecepatan layaknya seorang pejalan kaki,” sambung Dunfee.

Suhu panas di Olimpiade Tokyo
(Suhu yang teramat tinggi menyulitkan atlet mengeluarkan segenap kemampuannya. Credit: AFP)

Diakui Dunfee, ia membawa beberapa “senjata”. Mulai dari sebotol air, topi yang berisi es, atau kaus kaki es yang dililitkan pada lehernya.  Dengan caranya itu, ia mampu finis sebagai peraih medali perunggu.

“Ia hanya dua detik dari medali perak,’’ sebut Stellingwerf.

Baca Juga :

Penyelenggara Larang Penjualan dan Konsumsi Alkohol di Olimpiade Tokyo 2020

Bersama timnya, Dunfee sudah mempelajari suhu tubuhnya dengan pil komputerisasi dan berteknologi tinggi. Sehingga, ia tahu pada suhu berapa tubuhnya mulai goyah dan kecepatan yang dibutuhkannya sebelum mencapai titik terbaik.

Ia tahu triknya, seperti bak es sebelum perlombaan dan rompi es untuk membantunya menjaga suhu tubuhnya supaya tetap rendah.

Kekhawatiran efek suhu panas itu yang jadi alasan penyelenggara Olimpiade 2020 sudah memindahkan venue marathon dan jalan cepat dari Tokyo ke Sapporo, kota yang terletak di sisi utara Negeri Matahari Terbit itu.

Stellingwerf sudah memprediksi hasil marathon pada suhu udara panas di Tokyo kali ini.

“Saya takkan terkejut kalau melihat pelari marathon berlari dengan 10 sampai 15 persen berlari lebih lambat dari catatan waktu terbaik pribadi mereka,” klaimnya.

Efek Di Cabor Dayung

Bukan hanya marathon dan jalan cepat, suhu udara yang panas juga bisa “mengganggu” perlombaan dayung.

Wendy Pethick, seorang ilmuwan dari Canadian Sport Institute Pacific yang ada di Victoria menyebut suhu maksimal seorang pedayung bisa berkompetisi ada di 40 dejarat Celcius.

Baca Juga :

Atlet Dayung Serbia Terkonfirmasi Positif, 4 Rekan Setimnya Jalani Karantina 2 Pekan

Sempat ada atlet yang bersaing dengan suhu tubuh 42 derajat Celcius, namun di beberapa hari kemudian ia jatuh sakit.

“Ketika Anda bekerja pada tingkat maksimal itu, Anda memiliki curah jantung maksimal dan bertugas mengisi bahan bakar otot sekaligus mendinginkan tubuh,” tutur Pethick.

Sebaliknya, lanjut Pethick, pada suhu yang lebih dingin curah jantung lebih banyak bakal difokuskan untuk mengisi bahan bakar otot.

“Jadi, itu salah satu alasannya mendinginkan tubuh membutuhkan banyak energi,” sambung Pethick.

Atlet mendinginkan tubuh di depan kipas angin
(Atlet hoki India mendinginkan tubuh di depan kipas angin usai bertanding di Tokyo, bulan Agustus beberapa tahun lalu. Banyak usulan agar perhelatan olahraga seperti olimpiade digeser waktunya untuk menghindari bulan-bulan terpanas tuan rumah. Credit: NY Times)

Harusnya di Akhir Tahun

Gelaran Olimpiade Musim Panas di Tokyo seharusnya tidak pakem mengikuti rangkaian jadwal Olimpiade sebelumnya. Seperti Piala Dunia 2022 di Qatar yang dilangsungkan saat bulan November tahun depan.

Padahal, Piala Dunia atau turnamen-turnamen top dunia lainnya biasanya digelar musim panas. Pada pertengahan tahun. Lagipula, Jepang juga pernah punya pengalaman melangsungkan Olimpiade di atas bulan Agustus.

Seperti yang terjadi pada Olimpiade 1964 yang berlangsung di Tokyo. Olimpiade ketika itu digelar pada bulan Oktober untuk menghindari bulan-bulan terpanas di negara Asia Timur itu. Sayangnya, saat ini keinginan itu tak bisa terlaksana karena ada ganjalan dari sponsorship. (YMP)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *