Rolasnews.com – Imbas ditemukannya penumpang pesawat Garuda yang positif covid saat tiba di Hong Kong, negara itu segera mengeluarkan larangan penerbangan dari Indonesia memasuki wilayahnya. Kebijakan Hong Kong tersebut dikhawatitkan bakal diikuti oleh negara-negara lain jika pemerintah Indonesia tidak segera cepat tanggap dan berbenah memperketat pemeriksaan screening atas semua calon penumpang dan awak pesawat ke luar negeri.
Menurut siaran pers Kementerian Luar Negeri RI, pemerintah Hong Kong pada 23 Juni lalu, mengumumkan mulai tanggal 25 Juni 2021 menetapkan status Indonesia kategori A1 (extremely high risk). Dalam kategori itu, semua penumpang penerbangan dari Indonesia tidak boleh memasuki negara tersebut.
Larangan ini ditempuh Pemerintah Hongkong karena terdapat peningkatan jumlah kasus COVID-19 dari Indonesia. Situasi ini tidak saja menghambat perjalanan warga Indonesia ke Hong Kong, namun bisa juga ke negara-negara lain.
Kebijakan Hong Kong ini harus dipahami sebagai otoritas negaranya guna mempertahankan keamanan dan keselamatan wilayahnya masing-masing. Dan tentu saja ini harus menjadi bahan evalusi yang serius bagi pemerintah. Apalagi varian virus baru dari India telah banyak ditemukan di Indonesia.
Kuat dugaan yang menjadi penyebab terdeteksinya virus COVID-19 pada penumpang pesawat dari Indonesia setiba di Hong Kong adalah masalah skrining yang kurang akurat.
Saat ini, karena angka harian COVID-19 Indonesia yang semakin melonjak, sejumlah pihak mulai dari kepolisian, satpol PP hingga Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19, saling bahu-membahu memperketat protokol kesehatan di bandara dan pelabuhan guna mencegah penyebaran dan penularan virus corona. Apalagi ledakan kasus periode kedua di Indonesia diperkirakan akan terjadi pada bulan Juli nanti, tentu semua pihak tak ingin terjadi tsunami COVID-19 seperti di India.
Baca Juga :
Tsunami COVID-19 di India Kian Mengerikan
Monitoring dan evaluasi terhadap tahapan skrining bagi pelaku perjalanan perlu diberlakukan secara ketat agar bisa benar-benar menyaring penumpang yang benar-benar sehat. Sekalipun sudah dites sebelum keberangkatan, bisa saja penumpang terjangkit selama perjalanan.
Adanya perbedaan hasil diagnostik bisa disebabkan perbedaan sensitivitas testing atau perbedaan standar pengambilan spesimen. Seperti yang diungkapkan Wiku Adisasmito, koordinator tim pakar dan juru bicara satuan tugas penanganan Covid-19 melansir bbc news (25/6) :
“Namun kita tidak dapat menutup mata bahwa adanya perbedaan hasil diagnostik dapat pula terjadi karena beberapa hal lain, seperti perbedaan sensitivitas testing ataupun perbedaan standar pengambilan spesimen,” kata Wiku.
Oleh karena itu, sangat disarankan bagi pelaku perjalanan untuk melakukan pemeriksaan di fasilitas kesehatan atau lab rujukan COVID-19 yang telah terjamin menjalankan prosedur testing sesuai standar.
Bukan hanya Indonesia, sebelumnya pemerintah Hong Kong juga menetapkan Filipina, India, Nepal, dan Pakistan juga telah masuk Kategori A1.
Hongkong telah mencatat lebih dari 11.800 kasus dan 210 kematian akibat virus COVID-19. Sebagian besar kasus baru-baru ini selama sebulan terakhir merupakan kasus dari luar Cina atau imported cases.
“Kebijakan ini bersifat sementara dan akan dikaji ulang secara periodik,” ujar Kemenlu
Hal ini tentunya berdampak bagi para pekerja migran Indonesia yang saat ini bekerja di Hong Kong. Dikhawatirkan kebijakan tersebut kian menyulitkan kondisi mereka terutama dengan adanya stigma yang beredar bahwa pekerja migran adalah pembawa virus.
Kemenlu mengatakan agar khusus bagi pekerja migran yang terdampak kebijakan ini untuk segera menghubungi majikan dan agen masing-masing. KJRI Hong Kong akan turut memastikan agar hak-hak mereka tetap terpenuhi sesuai ketentuan yang berlaku. (AZP)