Rolasnews.com – Selama ini perjalanan evolusi manusia sering dikaitkan dengan kisah turunnya manusia dari pohon, berjalan bipedal (berjalan dengan dua kaki), pengunaan tangan yang lebih cekatan, domestifikasi hewan liar, dll. Bahkan tak terhitung penelitian yang mempelajari korelasi perkembangan otak yang membesar sehingga mengharuskan kita mengkonsumsi lebih banyak energi dan kalori daripada kerabat terdekat kita, kera.
Meski demikian, ada satu hal yang tampak remeh tetapi berefek signifikan dalam perjalanan evolusi manusia, yaitu kemampuan tubuh kita memproses air lebih efisien dibanding primata lainnya.
Hal ini menjadi pembahasan utama sebuah studi yang diterbitkan Jurnal Current Biology, Jumat lalu. Dalam studi tersebut, para peneliti memaparkan secara rinci bagaimana tubuh manusia memproses air.
Secara rata-rata, kita memproses air sebagai kebutuhan dasar 3 liter atau 12 gelas per hari. Sementara, simpanse, bonobo maupun gorila yang hidup di kebun binatang, melakukan hampir dua kali lipatnya.
Hasil ini cukup mengejutkan mengingat manusia memiliki kelenjar keringat 10 kali lebih banyak daripada simpanse serta secara keseluruhan jauh lebih aktif dibanding kera. Belum lagi jika diperhitungkan dari sisi suhu luar, ukuran tubuh dan tingkat aktivitas, seharusnya manusia membutuhkan lebih banyak air setiap harinya daripada kerabat-kerabat dekatnya tersebut.
Namun ternyata homo sapiens hanya memerlukan sedikit air untuk menjaga keseimbangannya tubuh agar tetap sehat.
“Dibandingkan primata lainnya, manusia memiliki perputaran air yang jauh lebih rendah dan mengkonsumsi lebih sedikit air untuk memetabolisme makanan sebagai sumber energi,” kata para peneliti.
Hal ini menunjukkan bahwa di awal evolusi manusia, entah bagaimana caranya, mengembangkan sistem yang secara alamiah menghemat cairan di dalam tubuh mereka. Sehingga memungkinkan nenek moyang kita melakukan perjalanan jauh dari hutan menuju ke daerah yang lebih kering.
“Mampu bertahan hidup sedikit lebih lama tanpa air menjadi keuntungan besar karena manusia purba mulai menetap di daerah sabana yang kering,” jelas Herman Pontzer, peneliti utama sekaligus antropolog evolusioner dari Duke University.
Studi yang dilakukan Pontzer dkk membandingkan perputaran air dari 309 orang dari berbagai profesi dan gaya hidup. Mulai dari petani, pemburu-pengumpul, hingga pekerja kantoran, dengan 72 kera yang tinggal di kebun binatang dan cagar alam.
Menurut Pontzer, untuk menjaga keseimbangan cairan tubuh, baik manusia maupun hewan lain sebenarnya membutuhkan asupan air yang sama.
“Air yang masuk harus sama dengan air yang keluar,” ujarnya.
Kehilangan air melalui keringat, misalnya. Otak akan mengeluarkan sinyal haus, menyuruh kita minum. Namun jika kita meminum terlalu banyak air lebih dari yang dibutuhkan tubuh, maka ginjal akan membuang cairan ekstra tersebut. Biasanya melalui keinginan buang air kecil.
Untuk setiap relawan dalam studi tersebut, para peneliti menghitung masuknya air melalui makanan dan minuman di satu sisi, serta keluarnya air melalui keringat, urin dan sistem pencernaan di sisi lain.
Temuan ini menunjukkan bahwa respon haus pada tubuh manusia berevolusi dari waktu ke waktu sehingga kita memerlukan lebih sedikit air per kalori ketimbang kera.
Saat bayi, jauh sebelum menerima makanan padat pertama kita, rasio air terhadap kalori ASI manusia 25 persen lebih rendah dari ASI primata besar lainnya. Sebaliknya, ASI kera memiliki rasio air terhadap energi 25 persen lebih rendah. Dengan kata lain, ASI manusia memilki kandungan air leibh sedikit tetapi nutrisinya lebih banyak.
Perubahan Iklim Pengaruhi Pola Makan Anak
Di hutan hujan tropis yang lebat, kera mendapatkan sebagian besar air yang mereka butuhkan dari makanan nabati yang banyak mengandung air. Sehingga mereka dapat bertahan berhari-hari atau berminggu-minggu walau tanpa minum sama sekali. Sebaliknya manusia, hanya dapat bertahan sekitar tiga hari tanpa minum. Kemungkinan ini karena makanan yang kita konsumsi kandungan airnya jauh lebih sedikit.
Keadaan ini mengharuskan kita untuk mendapatkan asupan cairan lebih sering daripada kera. Karena itulah peradaban dan populasi manusia umumnya berkembang tak jauh-jauh dari sumber air seperti danau atau sungai.
Meski demikian, tubuh kita juga beradaptasi untuk menghemat air. Ada yang berubah selama evolusi manusia yang berkaitan dengan berkurangnya jumlah air yang digunakan tubuh kita setiap hari untuk tetap sehat.
Pontzer menyebutnya sebagai “tali ekologis”. Kita bisa saja dapat bertahan hidup selama beberapa hari tanpa minum sama sekali. Tetapi kita tidak dapat mengelak dari “tali ekologis” bahwa tubuh kita membutuhkan asupan cairan dengan intensitas tinggi.
Fakta lain terkait perubahan tubuh kita dalam menghemat air bisa dilihat dari bukti fosil yang menunjukkan bahwa sekitar 1,6 juta tahun lalu, di permulaan homo erectus, manusia mulai mengembangkan hidung yang lebih menonjol. Sementara gorila dan simpanse tetap memiliki hidung yang jauh lebih rata.
Saluran hidung luar membantu kita menghemat air dengan mendinginkan dan mengembunkan uap air dari udara yang kita hembuskan. Kemudian mengubahnya kembali menjadi cairan di bagian dalam hidung kita sehingga dapat diserap kembali.
Dengan hidung yang menonjol, membantu manusia purba mempertahankan lebih banyak kelembaban dalam setiap tarikan nafas.
“Memang masih ada yang musti dipecahkan. Tetapi jelas (tubuh) manusia berevolusi menghemat air. Mengetahui secara pasti bagaimana kita melakukannya adalah tujuan kita selanjutnya. Dan itu pasti akan sangat menyenangkan,” pungkas Pontzer. (TON)