Rolasnews.com – Studi menunjukkan hasil yang mengejutkan. Perubahan iklim ternyata berbahaya dan berpengaruh besar terhadap perubahan pola makan anak.
Memang, sejak awal, perubahan iklim mempengaruhi pola makan seluruh manusia secara umum. Penelitian membuktikan bagaimana keragaman makanan dipengaruhi oleh hasil perubahan iklim. Perubahan tersebut adalah suhu yang lebih tinggi, serta curah hujan yang meningkat, di seluruh dunia.
Para peneliti di University of Vermont, melakukan survei pola makan kepada lebih dari 107.00 anak di bawah usia lima tahun, yang tersebar di 19 negara di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan. Penelitian ini juga melibatkan data curah hujan dan iklim serta temperatur selama 30 tahun. Suhu tinggi selama jangka panjang dikaitkan dengan penurunan keragaman makanan di antara anak-anak.
“Cukup mengejutkan bahwa suhu yang lebih tinggi telah menunjukkan dampak,” kata Meredith Niles, penulis utama studi dan asisten profesor Ilmu Gizi dan Pangan di University of Vermont.
Studi tersebut menunjukkan pada 2019, dimana lebih dari 144 juta anak di bawah usia lima tahun mengalami malnutrisi, menurut data UNICEF.
Jumlah ini bisa bertambah 6,7 juta pada tahun 2020, diperburuk oleh pandemi COVID-19, menurut sebuah laporan yang diterbitkan pada bulan Juli.
Dalam studi tersebut, para peneliti menggunakan skala yang dikembangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memahami asupan mikronutrien seperti zat besi, asam folat, seng, dan vitamin A dan D.
Rata-rata. anak mengkonsumsi 3,2 dari 10 kelompok makanan. Tetapi di negara maju seperti di China, anak-anak mengkonsumsi 6,8 dari 10 kelompok makanan. Jumlahnya dua kali lipat rata-rata keseluruhan. Artinya rumah tangga dengan penghasilan besar adalah faktor terbesar dalam keragaman makanan anak-anak.
“Hasil ini menunjukkan bahwa, jika kita tidak beradaptasi, perubahan iklim dapat semakin mengikis pola makan yang sudah tidak memenuhi tingkat mikronutrien yang memadai bagi anak-anak,” kata Brendan Fisher, dari UVM’s Rubenstein School of Environment and Natural Resources tentang pola makan anak di negara berkembang.
Sedangkan curah hujan yang lebih tinggi, seperti di negara-negara Afrika Barat dan Tenggara dan Amerika Tengah, dikaitkan dengan keragaman yang lebih tinggi dalam pola makan anak-anak di wilayah-wilayah tersebut.
“Curah hujan yang lebih tinggi dapat memberikan manfaat kualitas makanan, tetapi tergantung intensitas hujan,” kata Molly Brown, salah satu penulis studi tersebut.
“Jika hujan tidak menentu serta intens mungkin teori ini tidak berlaku,” imbuhnya.
Sementara itu, Paolo Vinens dari Imperial College London mengatakan perubahan di bidang pertanian dan industri makanan dapat dikaitkan dengan pola makan yang memburuk.
Diperkirakan pada tahun 2050 mendatang, permintaan global akan makanan dapat meningkat 59% hingga 98% dari populasi yang lebih besar. Meski perwujudannya perlu industri pertanian yang lebih besar, kekeringan harus dihindarkan sebab ini adalah ancaman nyata.
Program Pengentasan Kemiskinan Berefek Signifikan pada Penurunan Laju Deforestasi
Lalu apa solusinya?
Investor harus mengetahui resiko keuangan dan peluang potensial dari krisis iklim sehingga dengan demikian dapat membantu industri makanan beradaptasi dengan dampak iklim yang sudah dirasakan.
“Keamanan pangan akan menjadi salah satu masalah terkait iklim yang paling mendesak, terutama karena sebagian besar dunia relatif miskin. Ketersediaan pangan akan menjadi semakin langka dan mahal,” kata Peter De Menocat, pendiri Columbia’s Center for Climate and Life.
Karena itulah, para ilmuwan tersebut kemudian menekankan perlunya peningkatan pola makan secara global melalui lebih banyak lagi penelitian. Hal ini bertujuan untuk mencukupi nutrisi anak-anak di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Negara-negara tersebut biasanya adalah daerah tropis di mana perubahan iklim yang paling besar diperkirakan terjadi. (NAY)