Aplikasi TABETE, Upaya Jepang Tekan Food Waste

Aplikasi TABETE, Upaya Jepang Tekan Food Waste
(Di masa pandemi pengunjung hotel dan restoran di Jepang turun hingga 70 persen. Hal ini membuat banyak makanan laut nan mahal semacam Sashimi harus berakhir di tempat sampah. Foto : IC)
Rolasnews.com – Sebagaimana negara-negara maju lainnya, Jepang menghadapi masalah serius terkait food waste atau makanan yang terbuang sia-sia. Untuk menekan makanan mubazir yang angkanya terus meningkat setiap tahunnya ini, sebuah perusahaan di Jepang meluncurkan aplikasi berbasis teknologi digital bernama TABETE.

Data dari Kementerian Pertanian, Kehutanan, Perikanan serta Kementerian Linkungan Hidup Jepang, negara matahari terbit itu menghasilkan tak kurang dari 27,6 juta ton limbah makanan setiap tahunnya. Selain limbah makanan yang dapat didaur ulang, 6,43 juta ton terpaksa harus dibuang tanpa sempat dikonsumsi. Jumlah ini setara dengan 51 kilogram limbah makanan per orang per tahun.

Lebih dari separuh makanan yang terbuat tersebut berasal dari berbagai restoran dan hotel yang umumnya berupa makanan di bawah standar, makanan yang tidak dihabiskan, dan stok dari produk yang tidak terjual. Sementara sisanya berasal dari limbah rumah tangga, mulai dari makanan yang dibuang sebelum dikonsumsi, hingga yang diolah secara berlebihan dan terbuang percuma saat dimasak.

Read More
Display makanan yang nyaris terbuang di Jepang
(Display makanan layak konsumsi namun bentuknya tak sempurna tersedia di toko sayur dan buah Shunpachi Seikaten. Foto : Asahi Shimbun)

Adalah CoCooking, sebuah perusahaan penyelenggara event memasak dan layanan makanan di Tokyo, yang pertama kali mengenalkan aplikasi smartphone TABETE untuk memberikan solusi online demi mengurangi limbah makanan. Caranya adalah dengan menghubungkan antara produsen makanan dengan konsumen langsung. Konsumen juga dapat membeli aneka produk makanan yang akan dibuang dengan aplikasi ini.

TABETE sendiri dalam bahasa Jepang berarti “makan aku”. Diluncurkan pertama kali di kota-kota besar seperti Tokyo dan Osaka. Aplikasi yang bertujuan untuk menyelamatkan makanan yang terbuang percuma itu kini telah tersedia di lebih dari 500 toko dan memiliki lebih dari 200 ribu anggota terdaftar.

Setelah mengunduhnya, setiap orang dapat masuk secara gratis untuk menjadi member. TABETE memfasilitasi toko makanan untuk memposting gambar dan harga makanan yang perlu “diselamatkan”. Sedangkan konsumen dapat mencari toko terdekat, memesan secara online, membayarnya dan tinggal mengambilnya pada waktu yang telah ditentukan.

Aplikasi Tabete
(Aplikasi TABETE untuk mengurangi food waste. Foto : apps.apple.com)

Mengingat manfaatnya yang besar, sejumlah pemerintah daerah di Jepang berinisiatif menggandeng dan menggunakan aplikasi tersebut untuk mempromosikan gerakan mengurangi food waste. Mereka mengajak toko-toko lokal untuk menjadi anggota TABETE dan mendisplay bahan-bahan makanan yang hendak dibuang. Masyarakat juga dihimbau untuk membeli dan tidak menyia-nyiakannya.

Di awal-awal pandemi COVID-19 merebak, penduduk di Hamamatsu, Prefektur Shizuoka, mengurangi secara drastis aktivitas makan di luar rumah. Hal ini membuat banyak reservasi hotel dan restoran di Hamamatsu yang dibatalkan, sehingga makanan dalam jumlah besar yang disiapkan menumpuk dan kemungkinan dibuang begitu saja.

Hal ini memicu meningkatnya kesadaran di antara konsumen sehingga menyebabkan lebih dari 200.000 anggota menggunakan aplikasi TABETE untuk membeli bahan-bahan makanan yang tidak terjual.

Kazuma Kawagoe, President CoCooking, mengatakan aplikasi itu juga mencoba menghubungkan antara produsen, toko dan konsumen.

Sebagai bagian dari upayanya, CoCooking membeli roti dan kotak makanan yang tidak terjual dari gerai yang beroperasi di kompleks Stasiun JR Tokyo. Lalu menjualnya lagi dengan harga lebih murah ke orang-orang yang bekerja di stasiun tersebut.

Upaya ini ternyata berhasil mengurangi food waste dari enam toko yang berpartisipasi lebih dari 1 ton makanan dalam satu bulan.

“Kombinasi aplikasi dan penjualan di toko-toko sangat berperan mengurangi makanan yang terbuang percuma,” kata Kawagoe.

Melihat efektivitasnya, berbagai komunitas sosial kemudian menyerukan agar warga membeli makanan-makanan tersebut melalui aplikasi TABETE

Food waste di Jepang
(Tumpukkan sampah dari makanan yang sebenarnya masih bisa dikonsumsi. Jepang memproduksi lebih dari 27,6 juta ton limbah makanan setiap tahunnya. Pemanfaatan aplikasi TABETE diharapkan mampu menekan jumlah makanan mubazir tersebut. Foto : Kyodo News)

Walau Penangkapan Ikan Turun di Masa Pandemi, Spesies Langka Tetap dalam Bahaya Punah

Masalah terkait food waste memang sangat kompleks. Mulai dari produksi dalam jumlah besar, pengolahan, penyimpanan, pengangkutan, penjualan hingga konsumsi akhir. Hampir dalam setiap tahapan ini selalu ada yang limbah yang terbuang. Apalagi makanan, terutama makanan segar, juga memiliki batas masa simpan dan masa konsumsi yang pendek.

Makanan yang dijual di toko-toko di negeri sakura itu biasanya dikemas dalam wadah dengan pencantuman “masa konsumsi” atau “masa lezat”.

Sesuai regulasi Pemerintah Jepang, “masa konsumsi” mengacu pada periode di mana makanan aman dikonsumsi.

Sementara “masa lezat” adalah waktu terbaik untuk menikmati makanan segar. Dengan kata lain, makanan yang telah melewati “masa sedap” mungkin rasanya tidak enak tetapi masih aman untuk dimakan.

Perbedaan pencantuman label yang tidak dipahami banyak orang, menyebabkan pemborosan (membuang-buang) makanan yang sebenarnya masih bisa dikonsumsi.

Sukiyaki
(Sukiyaki merupakan salah satu makanan khas Jepang yang menggunakan bahan-bahan pilihan berkualitas tinggi. Sayang jika makanan yang sangat populer di seluruh dunia ini harus dibuang-buang begitu saja. Foto : IC)

Dengan adanya fenomena ini, Mottaninal Food Center, sebuah organisasi nirlaba, menampung makanan-makanan ini melalui pembelian langsung maupun donasi. Kemudian menjualnya melalui jaringan “ecoeat” dengan harga jauh lebih rendah untuk amal, membantu mereka yang membutuhkan, sekaligus mengurangi limbah yang tidak perlu.

“Saya sering berbelanja di ecoeat. Banyak jenis produk yang dijual murah. Konsep bahwa mereka berkontribusi menekan makanan yang terbuang sia-sia amat bagus. Dengan berbelanja di sini, saya merasa saya juga berperan dalam perlindungan lingkungan,” demikian respon seorang netizen Jepang. (TON)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *