Rolasnews.com – Beberapa waktu belakangan, sering terlihat kepala daerah atau pemimpin emosional yang kemarahannya diumbar terang-terangan ke media. Penyebabnya pun kadang terlalu sepele yang sebenarnya tak patut untuk ditanggapi dengan marah-marah begitu rupa.
Fenomena pemimpin emosional tak hanya terjadi di ruang-ruang publik, tapi juga merambah ke ruang-ruang privat karena diamplifikasi media, termasuk media sosial.
Yang bikin miris, luapan amarah sang pemimpin sangat mudah diakses (dilihat) semua orang. Tak terkecuali oleh mereka yang seharusnya dilindungi dari tontonan publik figur berbicara dengan nada tinggi sambil membentak-bentak. Anak-anak.
Trend pemimpin ngamukan yang disebarluaskan media ini tak pelak mengundang tanggapan sinis. Bahkan ada yang menuding sang pemimpin ibarat tengah bermain drama Korea (drakor) alias akting.
“Memang setiap pemimpin memiliki karakter masing-masing. Punya style masing-masing. Tapi sepatutnya tak seperti itu,” kata Wakil Ketua DPW Partai Nasdem Jatim Bidang Media dan Komunikasi Publik, Vinsensius Awey, Sabtu (20/6).
Merujuk pada salah seorang kepala daerah yang gemar marah-marah, Awey mengatakan ada dua kemungkinan penyebabnya. Bawaan lahir atau memiliki tempramen tinggi.
“Atau (bisa juga) merupakan tuntutan skenario layaknya drama Korea atau personal branding. Tapi sebagai penentu keputusan dan panutan staf, maupun masyarakat, setidak-tidaknya seorang pemimpin harus memiliki keseimbangan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi,” jelasnya dikutip dari portaltiga.com.
“Memimpin itu tidak mudah, namun tidak semua hal diselesaikan dengan cara marah-marah, disikapi dengan temperamen,” tambah Awey.
Ia melanjutkan, selain miliki kecerdasan intelektual, seorang pemimpin juga harus bisa mengenali emosi, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, memiliki empati dan juga membina hubungan.
Hanya saja, apa yang disampaikan Awey ini tidak selalu berbanding lurus dengan persepsi masyarakat umum. Banyak masyarakat kita yang malah senang dengan adegan pemimpin marah-marah. Apalagi kalau marahnya dipicu hal-hal yang sudah lama menjadi ganjalan mereka seperti ketidakdisplinan, pungutan liar, birokrasi yang berbelit-belit, korupsi, dlsb.
Dengan kata lain, murkanya sang pemimpin dipandang mewakili murkanya masyarakat terhadap perilaku-perilaku buruk yang dianggap sudah lazim dan membudaya tetapi sangat merugikan khalayak luas tersebut.
Namun di sisi lain, dukungan sebagian masyarakat terhadap sikap pemimpin yang emosional, sekali pun itu ditujukan untuk mengekspresikan ketidaksukaan pada perilaku-perilaku buruk, justru menegaskan ada yang sakit dengan masyarakat kita. Sakit karena suka melihat orang marah-marah, sekaligus sakit karena lebih memilih bersikap permisif (pasrah) terhadap aneka kebiasaan buruk yang sebenarnya mereka benci.
Kedua “sakit” inilah yang musti dicarikan obat mujarabnya. Bukan sekedar mengkritisi pemimpin emosional tetapi menafikan penyebab serta akar masalahnya. Kecuali jika pemimpin itu memang doyan marah-marah tanpa jelas juntrungannya. Untuk model pemimpin semacam ini, bolehlah kita bilang, “Hajar, bleh!”
Yang perlu diingat, setiap pemimpin yang baik tentunya akan berjuang untuk kepentingan orang banyak, kepentingan orang-orang yang dipimpinnya. Soal cara, banyak bergantung pada karakter yang bersangkutan. Tidaklah fair sibuk menyoroti karakter seorang pemimpin namun menutup mata terhadap prestasi serta kompleksitas masalah yang musti dihadapi.
Pemimpin juga manusia. Punya rasa punya hati punya emosi. Menudingnya berakting ala drakor ketika marah-marah pada sesuatu yang jelas-jelas tidak beres, menunjukkan ada gejala “sakit” yang lain.
Alih-alih saling sindir dan perang komentar yang tidak konstruktif di media, lebih baik para kepala daerah, anggota dewan, politisi, tokoh masyarakat serta pemangku kepentingan yang lain, berpikir dalam kerangka kepentingan yang lebih besar. Apalagi kita saat ini masih didera pandemi COVID-19 yang sudah menginfeksi puluhan ribu orang dan merenggut lebih dari dua ribu jiwa.
Ada pun mengenai pemimpin emosional yang kerap meledak-ledak amarahnya, apa yang dikemukakan Vinsensius Awey juga perlu menjadi perhatian, utamanya kepala daerah yang sering menjadi sorotan karena sifat temperamentalnya.
“Ada baiknya kecakapan dalam manage emosi jauh lebih baik untuk seorang kepala daerah. Karena banyak daerah yang berhasil di bawah kepemimpinan seorang kepala daerah yang wise (bijaksana) yang mampu memanage emosi mereka dengan baik,” tutur mantan anggota DPRD Kota Surabaya ini. (TON)