Perajin Bedug Kota Malang Tetap Eksis di Tengah Perkembangan Jaman

Perajin Bedug Kota Malang Tetap Eksis di Tengah Perkembangan Jaman
(Arif dan bedug buatannya. Photo Courtesy : ANC/Rolasnews)
Rolasnews.com – Dulu, hingga akhir tahun 1990an, suara bedug masih kerap terdengar sebagai penanda masuknya waktu salat lima waktu. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu dan semakin pesatnya perkembangan teknologi, keberadaan bedug tersebut sudah tidak lagi menjadi pilihan sebagai sarana untuk menandai masuknya waktu shalat karena telah digantikan oleh pengeras suara.

Namun demikian, kondisi tersebut ternyata tidak menyurutkan semangat seorang perajin bedug Kota Malang, M Arief Riyadi. Warga Bumiayu, Kecamatan Kedungkandang, tersebut bertekad terus menekuni kerajinan pembuatan bedug. Apalagi, setiap menjelang dan pada saat bulan Ramadhan, pesanan bedug masih ramai.

Memanfaatkan peluang tersebut, dengan dibantu dua orang pekerjanya, sejak tiga tahun belakangan ini Arief memutuskan untuk merambah ke pembuatan bedug.

Read More

Diceritakan Arief, keahliannya untuk membuat bedug ia pelajari secara otodidak dengan melihat proses pembuatannya dari para pengrajin bedug di Jepara.

“Saya belajar membuat bedug ini secara otodidak. Jadi cuma lihat proses pembuatan beduqnya saja di Jepara, kemudian dipraktekkan sendiri dan ternyata jadi,” akunya saat ditemui Rolasnews di tempat produksinya yang berlokasi di jalan Kyai Perseh Jaya no 5, Jumat (18/6).

Pesanan bedug ramai di bulan Ramadhan
(Pesanan bedug tradisional biasanya datang menjelang atau bertepatan dengan bulan suci Ramadhan. Photo Courtesy : ANC/Rolasnews)

Menurutnya, dalam pembuatan bedug, ada beberapa proses yang harus dilalui, mulai dari pemilihan kayu hingga pemasangan kulit pada bedug. Jika pemilihan kayu sudah ditentukan, kayu kemudian dipotong berbentuk papan memanjang sesuai dengan yang diinginkan. Setelah itu kayu dihaluskan untuk kemudian ditata dan dipasang pada rangka bedug.

Agar kayu yang satu dengan kayu yang lainnya dapat menyatu, maka harus direkatkan dengan menggunakan lem kayu.

“Pemasangan papan-papan kayu ini merupakan proses paling lama pada pembuatan bedug karena harus dipasang satu per satu dan membutuhkan waktu sekitar tiga bulan,” ungkapnya.

Setelah kayu terpasang semua pada rangka, proses selanjutnya adalah pengecatan atau pewarnaan kayu bedug. Baru kemudian dilanjutkan dengan pemasangan kulit sapi pada bedug.

Supaya kulit terpasang dengan kuat dan rapi pada bedug, maka harus dipasang pasak atau paku kayu.

“Untuk pemasangan pasak paku kayu, kami masih menggunakan cara tradisional. Jadi paku kayunya memang benar-benar sampai masuk ke dalam, sehingga tampilannya bagus dan bisa dijadikan penguat juga,” terangnya.

Masih kata Arief, terkait harga, ia mematoknya sesuai dengan ukuran dan jenis kayu yang digunakan, apakah kayu jati atau kayu nangka.

“Bedug kayu jati dengan ukuran 1 meter harganya 10 juta. Itu bedugnya saja, belum gantungannya. Tapi kalau dengan gantungannya sekitar 12 juta. Sedangkan kalau menggunakan kayu nangka lebih murah. Hanya 7 juta bedugnya saja,” sebutnya.

Baca Juga :

Kampung Budaya Polowijen Lestarikan Tradisi Riyoyo Kupatan

Meski sekarang tidak semua masjid menggunakan bedug, Arif menambahkan, tetap saja ada beberapa masjid yang masih sering memesan bedug, khususnya pada saat bulan Ramadhan.

“Bedug yang saya kerjakan ini merupakan pesanan dari Masjid di Tlogowaru yang sebenarnya harus selesai pada saat bulan Ramadhan kemarin. Tapi karena mereka pesannya sudah mepet dengan lebaran kemarin, jadi baru bisa diselesaikan sekarang,” jelasnya.

Proses pembuatan rebana
(Selain bedug, Arif juga menerima pesanan rebana yang dikerjakan di bengkel rumahnya di Bumiayu, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang. Photo Courtesy : ANC/Rolasnews)

Sementara itu, Areif mengaku selain mampu membuat kerajinan bedug, ia juga biasa membuat kerajinan alat musik rebana. Bahkan dalam sekali produksi, Arief dapat membuat 40-50 rebana.

“Berbeda dengan bedug yang menggunakan kulit sapi, rebana ini justru memakai kulit kambing. Dan kulit kambing yang dipakai harus kambing betina karena kulitnya lebih elastis dan suara yang dikeluarkan juga lebih bagus,” ucapnya.

Harga rebana mulai dari Rp 275 ribu-Rp 375 ribu per buah tergantung jenis kayu dan ukurannya. Konsumen juga bisa membeli rebana satu set sekaligus dengan harga Rp 3,4-Rp 3,6 juta rupiah/set.

“Kalau satu set rebana terdiri dari 4 buah rebana, 1 bas, 1 tam, 2 keplak dan 1 darbuka,” pungkasnya. (ANC)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *