Rolasnews.com – Menghadapi tahun ajaran 2021-2022 yang akan datang, kita sebagai orang tua masih mengalami kebingungan karena ketidakpastian apakah anak-anak kita masih harus menjalani pembelajaran daring dari masing-masing rumah, ataukah sudah akan menjalani pembelajaran tatap muka seperti sebelum masa pandemi.
Meskipun pembelajaran tatap muka seperti sebelum masa pandemi tampaknya kecil kemungkinan bisa dilakukan mengingat naik turunnya status penyebaran kasus COVID-19 yang masih tidak menentu.
Namun kita sebagai orang tua tentu berharap ada jalan keluar agar anak-anak kita yang sudah hamper setahun lebih tidak bersosialisasi dengan sesame teman dan gurunya setidaknya akan keluar dari kejenuhan belajar daring yang sudah akut ini.
Harapan itu muncul ketika kemudian digagas sebuah strategi belajar mengajar bernama Blended Learning, atau sering pula disebut Hybrid Learning.
Strategi ini dimunculkan untuk mengatasi kejenuhan akut para siswa yang sudah terlalu lama belajar daring di rumah, namun dengan tetap memperhatikan prosedur kesehatan untuk meminimalisasi penyebaran COVID-19.
Lalu apakah Blended Learning itu?
Bhonkdan Graham (2006) dalam Rusman dkk (2012: 244) menyatakan bahwa Blended Learning merupakan penggabungan dua model pembelajaran yang terpisah. Pembelajaran tradisional dengan pembelajaran yang berbasis teknologi komputer dengan penekanan yang digunakan dalam pengertian di atas, yaitu mengarah pada teknologi komputer saat ini. Teknologi komputer yang dimaksud di sini adalah teknologi internet. Atau, kalau mau disederhanakan, Blended Learning adalah gabungan dari pertemuan tatap muka dengan kelas daring.
Konsep di atas tampaknya sederhana, namun sebenarnya cukup rumit dalam pelaksanaannya. Karena masih dalam masa pandemi, maka sesi tatap muka tidak bias dilakukan secara penuh alias maksimal hanya separuh dari populasi siswa di kelas.
Ini artinya, sisa populasi tetap menjalani kelas daring. Di masa-masa normal, tatap muka dilakukan secara penuh sehingga sesi daring dipergunakan untuk pendalaman materi atau prakondisi sesi tatap muka secara mandiri.
Hal yang sama bias dilakukan di masa pandemic. Hanya saja sesi tatap muka harus dijadwa lulang karena harus ada pembagian populasi. Sementara, kelas daring mungkin harus mengakomodasi sesi tatap muka yang tidak bias dilaksanakan.
Nah, bias dibayangkan bukan betapa pusingnya si guru dalam persiapan model kelas seperti ini? Belum lagi, harus ada persiapan-persiapan teknis yang mendasar misalnya ketersediaan jaringan internet serta peningkatan aspek pedagogi para guru. Namun tampaknya, model ini mungkin akan dipilih untuk mengatasi situasi stagnan dalam proses belajar mengajar selama pandemi. (*)
* Artikel merupakan tulisan dari Rendra Prihandono, pemerhati dan praktisi pendidikan. Penulis juga merupakan Guru Sosiologi di sebuah SMA Swasta di Surabaya.