Kearifan Lokal Jauhkan Kita dari Sawan dan Pagebluk

Kearifan Lokal Jauhkan Kita dari Sawan dan Pagebluk
(“Ngger… Ora kabeh tinggalane mbahmu kuwi kudu dimangkrakno.” Foto : Flickr)
Rolasnews.com – Banyak kearifan lokal yang diwariskan nenek moyang kita yang sebagian sudah kita tinggalkan. Padahal di balik kearifan-kearifan lokal itu terselip pelbagai kebajikan. Salah satunya menjaga harmoni dengan alam sekaligus menjaga diri kita.

Kita yang biasanya petentengan karena merasa segumpal otak kita mampu menjawab segala persoalan, kali ini kena batunya. Geliat mahluk mikroskopik bernama Corona menunjukkan manusia, yang katanya spesies paling super di muka bumi, ternyata juga mahluk lemah.

Kebijakan menutup total satu wilayah dari keluar masuknya orang, membatasi pergerakan penduduk dari satu tempat ke tempat lain, hingga menyuruh kita meringkuk di rumah masing-masing, menegaskan ketidakberdayaan kita. Ketidakberdayaan terhadap alam. Ketidakberdayaan kita menghadapi kerja misterius semesta menjaga keseimbangannya. Dan itu semua bermula dari ketidakmampuan kita berharmoni dengan alam.

Read More

Yang sering kita lupa, harmoni dengan alam sesungguhnya sudah lama dipraktekkan nenek moyang kita. Meski mungkin sulit dicerna akal sehat masyarakat yang hidup di masa kini, namun tindakan-tindakan para pendahulu kita itu memiliki pembenaran sendiri karena lebih menekankan pada preventisme. Pencegahan.

Termasuk menghadapi wabah global yang kini membuat seisi dunia kalang kabut.

Korban Jiwa Akibat Pandemi Corona
(Ratusan ribu korban jiwa akibat pandemi Corona. Orang Jawa menyebut pandemi sebagai pagebluk. Foto : Al Jazeera)

Mbah-mbah kita mengenal istilah pagebluk dan sawan. Kalau pagebluk bisa diartikan sebagai wabah, sawan adalah penyakitnya. Baik pagebluk maupun sawan amat ditakuti, karena itu berbagai upaya dilakukan untuk menghindarinya.

Namun pagebluk tidak akan muncul tanpa didahului sawan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sawan bermakna berbagai penyakit penyakit yang biasanya datang tiba-tiba. Menyebabkan kejang, epilepsi, kancing mulut, dlsb. Hal-hal itu sering kali membuat kita ambruk tak berdaya.

“Dari banyak tutur cerita, ternyata makna sawan juga bisa bermacam-macam. Bisa bermakna sebuah kondisi yang menyebabkan anak, orang dewasa dan bayi jatuh sakit. Sakit yang tidak jelas,” kata dr Sudi Haryanto saat diwawancarai Malang Inspirasi beberapa waktu lalu.

dr Sudi Haryanto
(dr Sudi Haryanto. Foto : Ist)

Dokter yang juga pemerhati budaya Jawa ini mengatakan orang terkena sawan biasanya setelah bepergian, memakamkan atau merawat jenazah, berkunjung ke tempat orang sakit, atau melakukan kegiatan yang melibatkan orang banyak.

Karena itu, lanjutnya, untuk menangkal sawan, salah satu kebiasaan positif orang-orang jaman dulu adalah selalu cuci tangan dan kaki setelah dari luar.

“Semasa saya kecil dulu, setiap habis melayat atau mengantar jenazah ke makam, simbah atau bapak menganjurkan cuci tangan dan kaki. Itulah kenapa di makam-makam kampung di dekat penduso atau pintu masuk pemakaman, selalu ada sumur untuk cuci tangan dan kaki,” ujar dr Sudi.

Sementara untuk di rumah-rumah, biasanya ada padasan, yakni gentong yang terbuat dari batu atau tanah liat yang diberi pancuran (lubang kecil, red) untuk air mengalir.

Padasan ini diletakkan di luar rumah, umumnya di dekat pagar sebelum masuk ke pekarangan atau halaman depan rumah. Padasan terkadang dilengkapi dengan gayung  yang terbuat dari batok kelapa.

Gentong Jadul untuk Bersih2
(Padasan untuk membersihkan diri sebelum masuk rumah. Foto : Ist)

“Padasan ini fungsinya unttuk membersihkan tubuh seperti mencuci tangan, kaki atau raup (membasuh muka, red). Leluhur kita sejak dulu melakukannya agar sawan atau hal-hal buruk tidak ikut masuk rumah,” tuturnya.

Dokter Sudi menambahkan, padasan juga sering difungsikan sebagai tempat wudhu karena surau atau langgar kecil banyak yang berada di samping rumah.

“Saat blusukan ke perkampungan di desa, sering kami jumpai pula beberapa masjid atau langgar (surau) kuno menyediakan kolam kecil untuk bersih-bersih di depannya. Ini untuk membasuh kaki yang kotor. Jaman dulu, banyak masyarakat kita yang tidak terbiasa bersepatu. Kalau pun memakai alas kaki, masih berdebu. Sehingga kalau mau sholat, harus bersuci diri terlebih dahulu di padasan atau kolam kecil depan langgar,” jelas dokter yang pernah mengenyam pendidikan di SMPN 12 Surabaya ini.

Baca Juga : Melestarikan Budaya Pangan Masyarakat Dapat Membantu Upaya Diversifikasi Pangan

Kearifan lokal nenek moyang kita lainnya adalah meletakkan kendi air minum di dekat padasan. Kendi air minum ini disediakan bagi pejalan kaki yang melintas untuk melepas dahaga.

Kendi untuk Air Minum
(Dulu, kendi untuk air minum bagi pejalan kaki yang lewat banyak disediakan di rumah-rumah penduduk. Foto : Ist)

“Sebuah kebiasaan berbagi. Berderma meski hanya sebatas air putih,” kata dr Sudi.

Sayangnya, banyak kearifan lokal berupa kebiasaan positif ini yang mulai tergerus jaman. Padahal budaya mengutamakan kebersihan ini sangat dianjurkan Organisasi Kesehatan Dunia, WHO. Terlebih dengan massifnya penyebaran Virus Corona atau Covid-19.

Presiden Jokowi Minum dari Kendi
(Presiden Jokowi pun tak segan-segan menenggak air minum langsung dari kendi karena terjaga kebersihannya. Foto : Ist/Info Blora)

Upaya selalu menjaga kebersihan seperti rajin mencuci tangan, membasuh muka dan berganti pakaian setelah bepergian, dapat mencegah virus atau bakteri yang menempel di tubuh dan pakaian tidak ikut terbawa masuk ke dalam rumah. Dengan demikian meminimalisir penyebaran penyakit ke anggota keluarga di rumah.

“Ironis. Kita yang hidup di alam modern kerap menganggap mbah-mbah kita sebagai jadul, ketinggalan jaman. Namun kebiasaan-kebiasaan mereka yang tampak remeh temeh, ternyata baru kita sadari bermanfaat sekali dalam menjaga tubuh tetap bersih. Apalagi di musim pagebluk seperti sekarang,” tandas dr Sudi Haryanto.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *