Doktor Priscilla Klasifikasi Seni Kriya dan Sejarah Desa Pejaten

(Dr. Priscilla Tamara, ST., MT, berbincang dengan pengrajin gerabah di Bali. credit:ist)
(Dr. Priscilla Tamara, ST., MT, berbincang dengan pengrajin gerabah di Bali. credit:ist)

Rolasnews.com – Karya inovatif berhasil ditemukan oleh Dr. Priscilla Tamara, ST., MT, Doktor Program Studi Teknik Industri, Doktor Bidang Seni Rupa (Industri Kreatif), Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang. Priscilla lulus doktoral dari Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta dengan sangat memuaskan. Berkat disertasinya berjudul “Interelasi Gerabah dan Keramik Pejaten Bali, Kajian Teknologi, Fungsi, dan Estetika” Priscilla berhasil menciptakan pengklasifikasian istilah untuk seni kriya, dan sejarah Desa Pejaten.

Menurut Priscilla, selama ini orang Bali menggunakan tiga istilah dalam mengklasifikasikan seni kriya. Klasifikasi itupun masih “meminjam” dari klasifikasi yang biasa diperuntukkan untuk seni pertunjukan tari. Yakni, seni Wali, Bebali, dan Balih-Balihan. Desain gerabah dan keramik berbasis budaya inilah yang menarik dalam penelitian Priscilla.

Read More

“Sebenarnya klasifikasi khusus seni kriya belum ada. Mereka (perajin) masih menggunakan klasifikasi dari seni pertunjukan tari. Maka, sekarang seni kriya saya klasifikasikan menjadi dua. Bersyukur (klasifikasi) ini diamini oleh penguji-penguji saya yang notabene pakar seni pertunjukan dari Bali,” ungkap Priscilla.

Dari ketiga klasifikasi seni pertunjukan tersebut, Priscilla memadatkan menjadi dua golongan klasifikasi untuk seni kriya. Yakni seni kriya sakral, dan seni kriya sekuler. Seni kriya sakral berkaitan dengan peralatan dari seni kriya yang dibuat untuk tujuan keagamaan. Sedangkan seni kriya sekuler bersifat profan, tidak bersangkutan dengan tujuan agama. Seni kriya sekunder yang bersifat profan ini biasanya peralatan untuk keperluan sehari-hari, benda-benda hias, dan sarana bangunan.

(Dr. Priscilla Tamara, ST., MT menunjukkan hasil gerabah buatan pengrajin di Bali. credit.ist)
(Dr. Priscilla Tamara, ST., MT menunjukkan hasil gerabah buatan pengrajin di Bali. credit.ist)

Dikatakan Priscilla, keramik dan gerabah tradisional Bali memang unik untuk diteliti. Kecenderungan saat ini perajin di Desa Pejaten terbagi menjadi tiga tipikal. Pengrajin gerabah, pengrajin keramik, dan pengrajin gerabah sekaligus keramik. Peralatan dari gerabah dan keramik bisa ditemui di dalam kehidupan sehari-hari, seperti peralatan makan, peralatan mandi, ataupun hiasan. Ketika dilihat, gerabah dan keramik Bali tidak jauh berbeda dengan di luar Bali.

“Namun, ada satu fungsi yang membedakan, yaitu gerabah Bali memiliki fungsi keagamaan yang menyertai. Apalagi, selama ini belum ada yang meneliti fungsi keagamaan (ritual) untuk gerabah dan keramik sekaligus,” terangnya.

Desa Pejaten mempunyai sejarah gerabah dan keramik cukup panjang dan unik oleh karenanya gerabah Pejaten berbeda dengan tempat lain. Sebagai sentra gerabah dan keramik, Pejaten satu-satunya yang mempunyai pasar luar negeri untuk gerabah, dan satu-satunya di Bali yang menekankan produksi pada gerabah hias.

“Keramik Pejaten seperti halnya gerabah, tumbuh di tempat yang sama. Pengrajinnya saling melengkapi. Estetika keramik Pejaten berkembang dari gerabah, interelasinya di situ,” lanjutnya.

Dalam penelitiannya, Priscilla kemudian melakukan kajian teknologi, fungsi, dan estetika. Gerabah Pejaten secara teknologi berbeda dari tempat lain. Ini dipengaruhi oleh permintaan pasar luar negeri. Dimana pasar luar negeri memiliki standarisasi sendiri sehingga memaksa pengrajin gerabah Pejaten mengikuti standarisasi tersebut.

Teknologi yang dimaksud adalah teknologi pengolahan bahan, teknologi peralatan yang digunakan, dan teknologi pembakaran. Beda cara bakar beda produk yang dihasilkan.

“Awalnya, gerabah kan masih tradisional. Antara gerabah dan keramik pengertiannya hampir sama, tapi beda dalam proses pembakaran,” jelas alumnus S-2 ITN ini.

Untuk kajian fungsi ditemukan fungsi gerabah sebagai alat komunikasi, dan simbol. Di Bali sangat kental menggunakan gerabah sebagai sarana ibadah. Karena gerabah berasal dari tanah dari alam, dimana tanah sangat diagungkan.

Pada prinsipnya manusia dari tanah dan akan kembali ke tanah. Dipercaya, energi spirit yang dibawa gerabah sangat kuat, dan membantu mempertebal keimanan.

Sedangkan kajian estetika dilihat dari ragam bentuk, ragam hias, dan sebagainya. Estetika tersebut memperlihatkan sumber ide kreatif desain para perajin. Baik gerabah maupun keramik Pejaten estetikanya didasari oleh desain-desain religius yang tentunya dikemas dalam sentuhan modern.

“Ragam bentuk dan ragam hias berupa binatang, manusia, tumbuhan, maupun abstrak selalu berdasarkan ajaran agama Hindu,”tuturnya.

Sementara, untuk teori penelitian Priscilla menggunakan teori desain Victor Papanek yang terdiri dari enam aspek, yaitu metodologi yang menyangkut material/bahan, teknologi, dan proses; fungsi yang terbagi atas fungsi praktis, fungsi komunikasi, dan fungsi simbol; kebutuhan yang memiliki pemahaman kebertahanan produk hingga memiliki identitas hingga mencapai tujuan; telesis yang berarti rencana pengembangan yang berhubungan dengan lingkungan sekitar untuk keberlanjutan; asosiasi merupakan dukungan dari sekitar demi perkembangan produk; dan estetika yang menyangkut segala sesuatu tentang keindahan.

Menurut Priscilla, luaran daribpenelitiannya nanti tidak hanya sampai pada klasifikasi seni kriya. Karena ia juga menemukan sejarah Desa Pejaten, dimana awalnya Desa Pejaten belum mempunyai sejarah desa yang tertulis/terdokumentasi secara terstruktrur.

Seni kriya sendiri menjadi bagian dari sejarah Desa Pejaten. Maka, Priscilla sekaligus mengorek, dan mengumpulkan sejarah desa dari museum, situs arkeologi, wawancara dengan tetua adat, serta mengkaji dari lembaran-lembaran lontar yang masih tersimpan.

“Bersyukur, akhirnya sejarah Desa Pejaten, dan sejarah gerabah yang saya gali diakui oleh penguji yang juga seorang pakar arkeologi sejarah. Ini juga atas bantuan dan masukan dari para penguji. Bahkan, sekarang penelitian saya menjadi referensi bagi beliau-beliau dalam mengajar,” ungkapnya.

Dalam perkembangannya, keramik lebih diminati dari pada gerabah. Sehingga pengrajin gerabah banyak yang beralih ke keramik. Namun begitu, untuk keperluan keagamaan/religi, dan pertimbangan ekonomis gerabah masih terus digunakan. Pada dasarnya keramik boleh digunakan untuk beribadah karena juga berasal dari tanah. Tapi, lebih kepertimbangan ekonomis mereka memilih gerabah untuk ibadah. Karena di Bali selepas beribadah ada kebiasaan memecahkan gerabah.

Namun sayangnya pada pandemi Covid-19 banyak pengrajin gerabah dan keramik berhenti. Maka perlu adanya revitalisasi kembali gerabah Pejaten untuk meningkatkan perekonomian daerah.

“Dari sebuah benda kerajinan masyarakat sebenarnya kita bisa mengetahui, melihat dan mempelajari budaya daerah. Seperti halnya dari gerabah ini, saya bisa mempelajari filosofi, budaya, perekonomian, dan kosmologi Pejaten. Hanya dari sebuah benda maka terbukalah sejarahnya,” pungkasnya.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *