Rolasnews.com – Awal November lalu, tepatnya tanggal 8 November 2020, telah berpulang ke Rahmatullah guru kita tercinta, Pak Udik Bakat Wahyuono.
Pak Udik meninggal di usia 60 karena jantung, pas usia pensiun. Namun tidak diceritakan waktu meninggal sudah atau belum pensiun. Awal problem jantung terjadi tahun 2014. Saat itu dirawat di RSAL.
Masalah/gejala jantung terjadi 6 tahun berselang, atau 12 hari sebelum meninggal. Karena tidak nyaman dg prosedural covid beliau enggan ke RS.
Tak kunjung membaik Pak Udik akhirnya mau dirawat di RS. Tepatnya di RSAL Dr. Ramelan, Surabaya.
Hasil rontgen tidak ada bercak di paru-paru, yang menandakan tidak ada covid di tubuhnya. Namun dari hasil rontgen terlihat posisi jantung melorot ke bawah.
“Dua belah jantung seperti pintu terbuka,” kata istri almarhum yang mulai terisak mengenang kondisi waktu di RSAL.
Meski demikian, Pak Udik tetap sadar dan selama dirawat sering menceritakan masa kecil, masa-masa perjumpaan dengan istri, hingga perjuangan menjalani hidup. Termasuk kenangan mengajar di SMPN 12. Itu dikisahkan ke menantunya yang turut merawat di RS.
“Bapak waktu itu nunjukin foto Pak Mardjuki, minta saya nebak foto siapa ini (yg kebetulan sama-sama di RSAL),” kenang Bu Udik.
Saat di RS itu Pak Udik juga “ngidam” mie pangsit dekat SMPN 12. Saat dibawakan anaknya, dengan bersemangat Pak Udik menyantapnya.
“Seperti orang kaliren,” kata Bu Udik.
Masih kata istri almarhum, menurut dokter yang bertugas, selama di RS Pak Udik kerap merindukan ceramah. Bahkan sempat menasehati pasien lain jika mendapati anak tidak dibekali ilmu agama. Alhasil di RS, di tengah sakitnya itu, beliau masih menyempatkan ceramah d ruangan.
Kegiatan dakwah ini memang sudah menjadi aktivitas harian. Tiap Jumat Pak Udik selalu dapat jadwal sebagai khotib Jumat di masjid-masjid.
Penulis juga mengingat waktu Pak Udik jadi guru SMPN 12. Jika tiba waktu jumat beliau beberapa kali menjadi khotib di GOR, sekitar tahun 1990, waktu itu masjid sekolah belum berdiri.
“Dakwah itu penting” kata istri almarhum menirukan ucapan suami.
“Ibu dulu gak bisa apa-apa, gak bisa ngaji. Tapi bapak selalu mengajari tiap hari,” kenangnya.
“Di kamar ada bacaan (kalimat thoyibah) yang diamalkan tiap hari. Beda-beda bacaannya,” lanjut Bu Udik mengenang keseharian almarhum sang suami.
Setelah beberapa hari DI RSAL, entah karena kondisi berangsur membaik atau permintaan almarhum sendiri, keluarga memutuskan untuk merawat Pak Udik di rumah. Kamar di rumah telah dipermak sehingga siap merawat beliau. Sirkulasi udara dibuat senyaman mungkin. Mulai dari pengadaan air cooler hingga exthoust.
Malam Ahad, 8 November 2020, Pak Udik mengeluhkan hawa gerah di kamar. Hanya tidur sesaat atau mungkin tidak bisa tidur sama sekali. Menurut Bu Udik, bapak mengatakan sendiri kalau mulai merasakan naza’ (proses diambilnya ruh, red).
“Bapak ngomong sendiri dan minta disiapkan air hangat untuk mandi. Tapi saat air sudah siap Bapak urung minta mandi. Maunya disibing saja,” kata Bu Udik yang mulai tampak basah mengalir air matanya .
Beberapa jam kemudian, adzan Dhuhur berkumandang di mushola depan rumah. Bapak sholat sindirian di kamar. Datang bapak-bapak jamaah mushola yg tak lain adalah tetangga di komplek untuk menjenguk.
“Cucu saya bilang kalau mencium bau harum semerbak di kamar. Tak lama kemudian bapak meninggal di kamar disaksikan jamaah.” kata ibu Udik yang sudah tak sanggup lagi bercerita. (NOVI)