Rolasnews.com – Unjuk rasa memprotes aksi brutal polisi di Amerika Serikat sehingga menewaskan George Floyd, seorang warga kulit hitam karena sangkaan tindakan kriminal ringan, tak hanya terjadi di dalam negeri. Dukungan terhadap upaya mencari keadilan bagi Floyd juga terjadi di berbagai negara.
Demonstrasi yang berujung kerusuhan di banyak kota di AS selama lima hari terakhir sempat menggeser berita tentang pandemi Corona di media-media besar di seluruh dunia. Bahkan aksi unjuk rasa juga mulai merembet ke negara-negara lain. Apalagi pemicu aksi demo besar-besaran ini bernuansa rasisme dari aksi brutal polisi, sesuatu yang sebenarnya kerap terjadi di negara yang mengaku menjunjung persamaan hak warganya tersebut.
Sebagai informasi, George Floyd tewas 25 Mei lalu di Minneapolis setelah seorang polisi kulit putih menekan lututnya ke leher Floyd sehingga membuatnya tak bisa bernafas.
Kematian seorang warga kulit hitam di tangan polisi kulit putih inilah yang memicu kemarahan mengingat kejadian seperti ini sudah berulang kali terjadi.
Di London, ribuan orang berkumpul hari Minggu untuk menyuarakan dukungan terhadap aksi unjuk rasa di AS. Mereka kompak meneriakkan yel-yel “Tanpa keadilan tak ada kedamaian!”
Ada juga yang membentangkan spanduk bertuliskan “Berapa banyak lagi?” di Trafalgar Square. Para pengunjuk rasa mengabaikan aturan Pemerintah Inggris yang melarang kerumunan orang untuk mencegah penyebaran COVID-19. Meski demikian, aparat keamanan yang berada di sekitar lokasi tidak menghentikan aksi unjuk rasa tersebut.
Para pendemo kemudian menuju ke Kedutaan Besar Amerika Serikat yang dijaga ketat. Ratusan pendemo akhirnya hanya duduk-duduk sembari melambaikan spanduk yang mereka bawa.
Di Kedubes AS di Berlin, pengunjuk rasa meneriakkan “Keadilan untuk George Floyd”.
Koran terlaris Jerman dalam edisinya hari Minggu memuat berita sensasional “Polisi pembunuh ini membakar Amerika” dengan menunjukkan panah ke arah petugas polisi yang kini sudah dipecat, Derek Chauvin. Chauvin sendiri menjadi tersangka pembunuhan tingkat tiga dalam kasus kematian Floyd.
Di Italia, koresponden senior Corriere della Sera di AS, Massimo Gaggi, menuliskan reaksi atas tewasnya Floyd “berbeda” dari kasus-kasus sebelumnya di mana warga kulit hitam Amerika terbunuh di tangan polisi.
Ia mengutip peringatan Gubernur Minnesota bahwa kegusaran warga kulit hitam yang jenuh dengan perlawanan tanpa kekerasan akan dimanfaatkan “kelompok-kelompok anarkis dan supremasi kulit putih” untuk mengobarkan kekacauan.
Sementara di China, aksi unjuk rasa di AS dibandingkan dengan aksi anti pemerintah di Hong Kong.
Hu Xijin, editor surat kabar Global Times milik pemerintah, menyindir para pejabat Pemerintah AS dalam akun twitternya.
“Saya ingin bertanya kepada Pelosi (Ketua DPR AS, red) dan Menlu Pompeo, haruskah Beijing mendukung aksi demonstrasi di AS sebagaimana Anda menglorifikasi para perusuh di Hong Kong?”
Di Iran yang pemerintahnya kerap jadi bulan-bulanan media AS karena dianggap menggunakan kekerasan dalam menghadapi aksi demonstrasi di negaranya, gantian melakukan hal yang sama. Saluran televisi milik pemerintah berulang-ulang menayangkan gambar-gambar kerusuhan di AS. Salah seorang pembawa acaranya bahkan secara khusus membahas “pemandangan mengerikan dari New York di mana polisi menyerang pengunjuk rasa”.
Hal senada juga datang Rusia.
“Kejadian ini bukan yang pertama kali dilakukan aparat yang seharusnya menegakkan hukum. Polisi Amerika terlalu sering melakukan kejahatan brutal semacam ini,” demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri Rusia.