Rolasnews.com – Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) terus berupaya memberikan dukungan bagi solusi korban erupsi Gunung Semeru. Kali ini, tim peneliti ITS khususnya dari Pusat Penelitian Mitigasi, Kebencanaan, dan Perubahan Iklim (MKPI) ITS yang merumuskan konsep hybrid hunian sementara (huntara) dan hunian tetap (huntap) pascabencana Gunung Semeru.
Hal itu sempat dibahas dalam sebuah diskusi yang diadakan secara daring, beberapa waktu lalu. Kepala Pusat Penelitian MKPI ITS Adjie Pamungkas ST MDevPlg PhD mengatakan bahwa diskusi tersebut bertujuan untuk memberikan solusi dalam upaya permukiman kembali (resettlement) pascabencana erupsi Gunung Semeru.
Diskusi ini juga dihadiri oleh beberapa peneliti dari ITS, di antaranya Johanes Krisdianto ST MT dan Wahyu Setyawan ST MT dari Departemen Arsitektur, Bambang Piscesa ST MT PhD dari Departemen Teknik Sipil, dan Kesumaning Dyah Larasati ST MArs selaku asisten peneliti di MKPI.
Dalam diskusi tersebut, diusulkan sebuah konsep hybrid hunian sementara (huntara) dan hunian tetap (huntap). Hal ini dilakukan supaya menghindari potensi konflik akibat delay yang kerap terjadi pada saat pembangunan huntara maupun huntap. Selain itu, konsep modular tahan gempa dan abu vulkanik juga bisa diterapkan untuk fasilitas umum, seperti kantor desa, sekolah, puskesmas, dan lain sebagainya.
Menurut Wahyu, masyarakat desa harus responsif dan resilien terhadap bahaya bencana di kaki Gunung Semeru. Maka dari itu, dengan implementasi konsep resettlement tersebut, masyarakat desa di kaki Gunung Semeru diharapkan dapat berpartisipasi dalam pemulihan pascabencana.
“Mulai dari meningkatkan perekonomiannya, hingga meningkatkan pengetahuannya mengenai mitigasi bencana alam,” ujarnya.
Melanjutkan diskusi tersebut, Johanes memaparkan konsep dari rumah tahan gempa dan abu vulkanik. Rumah tersebut dibentuk dengan atap yang mampu menahan curahan abu vulkanik gunung berapi. Selain itu, rumah tersebut harus berbahan material sederhana, kokoh, dan mudah dicari di daerah Semeru.
“Hal ini dilakukan untuk mempermudah masyarakat desa dalam mengembangkan rumah mereka secara mandiri tanpa keahlian khusus,” jelasnya.
Tak hanya itu, rumah yang dikonsep oleh tim ITS ini dapat dibangun dengan cepat dan dapat dipindahkan secara mudah. Oleh karena itu, Bambang berpendapat bahwa bahan material yang digunakan harus ringan sehingga dapat dipindahkan dengan mudah dan tidak mudah roboh ketika terkena dampak gempa.
“Rumah tersebut sudah memiliki fasilitas sesuai standar rumah inti, yaitu terdapat kamar mandi, kamar tidur, maupun dapur,” bebernya.
Keunggulan lain, lanjut Adjie, rumah tersebut bersifat hybrid, yaitu bisa menjadi hunian sementara, kemudian dapat dikembangkan oleh masyarakat menjadi hunian tetap mereka.
“Rumah tersebut dapat direduksi seperti ruang studio maupun ditambah menjadi rumah yang lebih luas,” tambahnya.
Wahyu juga berharap bahwa pembangunan permukiman ini bisa ditambah dengan penanaman hutan bambu di sekitar kaki Gunung Semeru.
“Penanaman bambu ini dapat menjadi alarm bagi warga desa karena bambu akan mengeluarkan suara keras ketika terkena awan panas,” ungkapnya.
Diharapkan konsep ini dapat segera direalisasikan. Sehingga, rumah yang dibangun ke depannya bisa lebih ramah terhadap bencana alam, khususnya di daerah kaki Gunung Semeru.
“Kami berharap rumah tersebut bisa lebih resilien dan tidak mudah roboh,” tandas Bambang. (TON/*)